Hari Kedua (2/18)
Faun—makhluk imajinatif aneh bin ajaib. Dari pinggang ke bawah berwujud kaki kambing plus bulu-bulunya yang kecokelatan. Sedang bagian ke atas nyaris normal manusia biasa dengan tambahan janggut panjang, telinga runcing, serta sepasang tanduk. Pertama kali melihatnya muncul di film Narnia dan Lemari Ajaib, dimana setelah Lucy berhasil berteleportasi ke “dunia lain” tersebut, ia langsung bertemu dengan Faun. Makhluk jadi-jadian tersebut sedang dalam perjalanan pulang melewati tumpukkan salju. Cara berjalannya aneh, seperti orang sakit pinggang. Lucy yang awalnya takjub, langsung jatuh sayang padanya. Mereka pun berteman dan merayakannya dengan pesta minum teh di kediaman Faun.
Untuk saat ini sepertinya saya punya dua kesaaman dengan Faun; pertama, kami sama-sama sedang “menikmati” cuaca dingin, walaupun situasiku minus salju; kedua, kami sama-sama berjalan seperti orang sakit pinggang. Dan untuk yang satu ini, versiku bukan kiasan belaka. Otot di antara pinggang dan bokongku akhir tahun kemarin spasme karena kelebihan angkat beban saat fitnes. Nyaris situasi ini membuatku tak bisa beraktivitas senormal biasanya, hingga 3 bulan ke depan dalam masa pengobatan. Dan seperti paku bengkok yang tetap meninggalkan bekas bahkan setelah diluruskan lagi, pinggangku tidak pernah benar-benar normal kembali. Setiap kali beraktivitas berat, katakanlah berjalan berjam-jam mengelilingi Princes’ Island, membuat sakitnya kambuh lagi. Saya merasa seperti Faun penyakitan kala melangkah tertatih menuju Besiktaş, dan langsung tepar sesampainya hotel.
Satu jam kemudian, sekitar 15 menit menuju jam 5, saya terjaga dari tidur. Rasa sakitnya sudah redah dan saya bisa berjalan dengan normal lagi. Biasanya, sesuai anjuran dokter langganan, saya akan mengompresnya dengan es batu untuk benar-benar menghilangkan rasa sakit. Namun, karena tidak ada toko kelontong yang jualan es batu di sekitaran Istambul, saya langsung masuk kamar mandi dan berdiri lama-lama di bawah pancuran air dingin yang diarahkan tepat di pinggangku. Toh dinginnya sama, walau kali ini sambil menggigil.
Seusai terapi air dingin yang membuat belakangku sempat mati rasa, saya pun berpakaian dan langsung menyambar beberapa batang cokelat dan roti dari dalam tas. Sengaja saya bawa dari Indonesia biar bisa dimakan dalam kondisi lapar-darurat. Soalnya hampir seharian ini yang masuk ke perut cuma makan pagi di hotel, minuman putih kental aneh di feri, serta sekantong tomat merah segar di Princes’ Island. Kalau tiap hari kayak gini, bisa-bisa saya kurus lagi seperti zaman SMA dulu. Setelah menghabiskan berbungkus-bungkus camilan, saya langsung keluar kamar menuju lantai bawah. Saya butuh makanan nyata di luar sana, yang mengenyangkan walau tidak sesuai selera. Dan lagi belum satupun tempat yang mestinya menjadi tujuan hari ini saya kunjungi. Setidaknya untuk waktu yang tersisa, harus ada satu yang terealisasi.
Sesampainya di halte, saya langsung naik bus menuju Kabataş, kemudian berganti ke tram. Ketika kereta menyeberangi jembatan Galata, kami langsung bermandikan cahaya keemasan. Matahari yang semakin merendah di ujung langit bersinar cerah, membuatku harus memicingkan mata untuk melihat pemandangan di luar. Deretan bangunan berbentuk kotak dan kubah, jembatan baja, serta kapal-kapal yang hilir mudik di perairan teluk membentuk siluet di kejauhan. Saya belum pernah melihat sore sebenderang ini; tiap warna sangat kontras dan tumpang tindih; emas, hitam, biru. Sejenak saya tergoda untuk turun di stasiun berikutnya dan menikmati sore indah ini, tapi ide tersebut hanya akan membuatku melenceng lebih jauh dari jadwal perjalanan. Dan lagi jembatan ini sudah masuk agenda di hari lain. Jadi, dilewatkan saja.
Setelah menyambangi beberapa stasiun di jalur menanjak, tram pun berhenti di Sultanahmed. Segera saya turun dari kereta dan berjalan menuju taman. Area di luar stasiun merupakan lokasi taman paling puncak, yang kemudian menurun hingga mendapati lapangan terbuka luas yang dihiasi beberapa petak taman kecil berhias bunga-bunga musim semi. Pepohonan dengan rerantingan tajam memenuhi tiap tepi. Mereka berdiri diam dalam ironi; tak berdaun dan tampak mati, namun memberikan suasana lebih hidup pada taman. Di sisi lainnya, berlatar langit berawan tipis yang ungu kelabu, menjulang dua buah bangunan indah yang saling berhadap-hadapan—Masjid Biru dan Aya Sofya. Kubah keduanya yang besar menonjol dipagari oleh menara-menara yang menjulang tinggi. Rasanya seperti telah berteleportasi dari zaman modern ke berpuluh-puluh tahun yang lalu. Semuanya tampak kuno, tapi memikat dan tak puas dipandang mata.
Saat langit semakin gelap, seluruh lampu tiang pun dinyalakan serempak. Beberapa bagian taman disinari cahaya lampu oranye, membuat suasananya makin syahdu. Semua gerakan pun dengan anehnya terasa melambat; orang yang berjalan; burung yang berterbangan; bahkan angin yang bertiup pun bersemilir. Rasanya cuma saya sendiri yang bergerak dalam kecepatan normal. “Halo” sapa seseorang di belakangku. Saya, yang kaget, langsung berbalik dan mendapati seorang pria kurus tinggi berdiri menghadapku. “Boleh berfoto denganmu?”, tanyanya, membuatku makin terkejut. Saya terdiam sejenak, saling bertatapan dengannya, “boleh” jawabku—saya bahkan tidak tahu kenapa malah mengiyakan permintaannya. Kenal saja tidak. Dia pun menyuruh salah satu temannya untuk memotret kami berdua. :”terima kasih”, katanya sambil menjabat tanganku, “saya dari Iraq”.
Bufff!!! Rasanya seperti dihantam martil raksasa. Jantungku mencelos dan sepertinya langsung jatuh ke tanah. Mudah-mudahan saja dia orang baik, pikirku seraya memperhatikannya melangkah sambil senyam-senyum bersama temannya, dan semoga saya tidak dimasukkan dalam daftar perekrutan organisasi ekstrim 4 huruf itu. Ini bukan main-main. Masalahnya beberapa minggu lalu sekumpulan manusia Indonesia dengan sengaja memisahkan diri dari rombongan di bandara Attatürk, yang kemudian ditangkap saat hendak melewati perbatasan Turki-Suriah. Dan tiba-tiba saja di magrib ini muncul seorang tak dikenal yang sekarang telah memiliki wajahku di kameranya. Kedua tanganku langsung memegang kamera sendiri dan mengarahkannya pada ketiga orang itu, memotret secara rahasia untuk barang bukti kalau-kalau ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi di kemudian hari.
Kumandang azan yang membahana di langit lembayung seketika mengagetkanku. Saya segera mengisi kamera dalam tas dan berjalan cepat menuju gerbang masjid. Kala melewati taman ke arah tempat wudhu, jantungku kembali berdegup. Bukan karena efek bertemu orang Iraq tadi, tapi ada rasa gentar saat melihat megahnya masjid dengan kubah-kubahnya yang indah. Rasanya seperti hendak meraih sesuatu yang selama ini diimpikan, dan sesuatu itu sudah ada di depan mata. Jadi tidak sabar ingin cepat-cepat shalat di dalamnya. Air yang mengalir dari keran wudhu ternyata benar-benar fantastis dinginnya. Tiap anggota tubuh yang dibasuh langsung mati rasa. Apalagi tanganku, langsung kebas. Dengan tubuh menggigil, saya berlari menuju pintu masuk masjid yang lumayan jauh di dalam, mengambil kantong plastik putih untuk menyimpan sepatu, lalu bergabung bersama jemaah lain di belakang imam.
Di sujudku yang terakhir, saya sampai meneteskan air mata mensyukuri nikmat Tuhan karena diberikan kesempatan bisa beribadah di salah satu masjid tanda kebesaran Islam di masa lalu. Hal ini membuatku ingin berlama-lama di dalam sini bahkan setelah para pria yang tadi shalat bersama telah melenggang pergi. Selain mengagumi dekorasinya yang antik, penuh corak, dan elegan, ruangan shalat pun cukup menghangatkan. Apalagi karpet merahnya yang tebal, rasanya semua suara dalam ruangan dapat diredam olehnya. Namun, lapar memang tidak bisa dikompromi. Perut krucuk-krucuk tanda camilan sore tadi cuma numpang lewat. Saya pun meraih sepatu dari atas rak khusus, mengembalikan kantong plastik ke tempatnya, lalu berjalan keluar.
Saya melewati gerbang keluar berbeda, yang membawaku ke pelataran lainnya, dengan petak-petak taman berumput yang lebih luas. Di bagian tengah ada air mancur bulat besar yang airnya disinari cahaya warna-warni saling berganti. Sedang di antara air mancur dan taman terdapat belasan bangku yang ditata rapi. Saya pun bergabung bersama pelancong lain yang sudah mengambil tempat. Dari sini saya bisa menikmati pemandangan Masjid Biru dan Aya Sofya dalam tampilan terindahnya; masing-masing berdiri kokoh, dibaluri sinar lampu oranye yang mendramatisir. Saking terbawa oleh suasana, saya sampai baru sadar kalau telapak tanganku terasa hangat, tidak kedinginan kayak tadi. Padahal suhu di luar sini masih dingin. Saya tidak tahu ini keajaiban atau apa. Tapi mungkin tubuhku sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan. Kalau tidak begitu kan bisa-bisa terkena teori seleksi alam.
Puas menikmati pemandangan, saya kemudian menghampiri stan penjual jagung rebus, tak jauh dari bangku taman. Bentuk gerobaknya kotak, dengan 4 tiang besi menopang atap. Di bagian tengah ada panci jumbo untuk merebus jagung—saking besarnya hingga saya mungkin bisa berendam air hangat di dalamnya. Sedang di sisi depan dan kiri gerobak ditata jagung serta kacang kastanye yang telah dipanggang. Harganya lumayan murah, jadi saya beli sekantong kacang dan jagung rebus. Rasa kacangnya sih enak, walau bentuknya mengerikan kayak otak jenglot. Jagungnya malah aneh; pas beli tadi, sang penjual baru mengangkatnya dari panci, tapi rasanya kayak makan jagung mentah. Tiap bulirnya padat dan bikinku langsung kenyang mendadak. Lumayan lah, jadinya tidak perlu beli makan malam lagi.
Sambil mengunyah kastanye, saya melangkah kembali ke stasiun tram. Kala hendak melewati pintu masuk otomatis, pandanganku teralihkan pada plang sebuah toko di seberang jalan; tertulis dalam bahasa Inggris dengan huruf balok dan berwarna cerah. Segera kumasukkan lagi istanbulkart dalam tas, lalu menyeberangi jalan menuju toko tersebut. Saat berdiri di depan kaca jendela dan menatap apa yang ada di baliknya, saya seperti ditarik kembali beberapa tahun ke belakang saat sedang duduk manis di depan TV menonton film Narnia dan Lemari Ajaib. Pada salah satu adegan, Edmun sedang berada di atas kereta penyihir, dan di tangannya ada sekaleng manisan yang dibaluri bubuk putih; Turkish Delight. Dari namanya saja, saya tahu bahwa camilan tersebut pasti asalnya dari Turki. Dan saat sepotong turkish delight masuk ke mulut anak lelaki tersebut, saya seperti ikut merasakan manisnya walau cuma khayalan. Saat itu juga, muncul sebuah angan-angan, hanya sebatas angan-angan belaka, ingin rasanya makan turkish delight langsung di negaranya. Dan sekarang, dalam bentuk yang paling nyata, bertumpuk-tumpuk manisan berbagai warna dan rasa ini ada di depanku.
Saat memasuki toko, perasaanku lebih menggila lagi. Sekelilingku hanya lah turkish delight, ditaruh dalam kotak-kotak berbeda sesuai rasa. Pengen rasanya lompat dan berenang di antara tumpukan manisan tersebut. Saking senangnya saya sampai tidak menyadari seorang pelayan toko tengah memperhatikanku yang senyam-senyum sendiri. Harga perkilonya lumayan mahal, tapi kata sang pelayan diperbolehkan membeli seperempat kilo. Saya pun beli dua kantong berbeda; satu rasa pistasio, yang satunya lagi rasa buah. Di atas etalase depan kasir ternyata ada sepiring manisan yang boleh dicoba. Turkish delight pertamaku, ucapku pelan kala mengambil sebuah. Dan saat potongan berbentuk dadu itu masuk ke mulut, rasanya…..hmmmm, seperti yang selama ini kubayangkan. Lezatos!!!!
Pohon meranggas tapi masih hijau tanaman lain dibawahnya.
Kolamnya cakep banget.
iya, ga tau kenapa pepohonannya ga punya daun. padahal musim gugur juga bukan 😀
bikin mupeng
bahahahahhahhaha
aseek so sempat makan turkish delight lagi e,,tapi kasian juga ko pe tulang belakang lagi sakit bgtu, lagi musim dingin baru kase kana aer dingin lagi mamayo pasti lulut langsung gemetaran 🙂
itu lagi. keinginan terkabulkan. impian manis, semanis manisan turkish delight 😀 itu sudah, doakan saja eee sa pu pinggang nih bisa sembuh total. amin.
Ack, punggungmu pasti sakit benar itu, Kak. Cepat sembuh ya, jadi jalan-jalannya bisa lanjut dengan lancar lagi :)). Jadi di foto yang blur itu ya, turis Irak yang membuat alarm kewaspadaanmu itu berbunyi. Semoga tidak ada kejadian yang aneh-aneh terjadi setelah itu ya, tapi dari kisah tentang orang Indonesia itu, mereka kan memisahkan diri secara sengaja, jadi menurut saya kalau tidak mau menjadi anggota kelompok itu, cukup amanlah perjalanan ini :hehe.
Deskripsi makanannya membuat saya mupeng banget, aaaak. Turkish Delight! Saya juga membayangkan banget bagaimana rasa dan kelezatannya, agaknya enak banget ya. Soal jagung dan kastanye, saya belum pernah makan kastanye :haha.
Turki memang termashyur dengan masjidnya yang megah dan punya banyak cerita! Bravo!
Iya nih, sakitnya sampe bikin susah jalan. Tapi secepat datangnya, secepat itu juga pergi. Semoga suatu saat bisa sembuh total, amin. Untuk orang Irak, iya itu mereka bertiga. Alhamdulillah mereka orang baik. Jadi tidak terjadi apa2 dengan saya 😀
Bahkan skrg saja saya masih bisa merasakan rasa Turkish Delight rasa pistasio yg enak itu. Kalau yg rasa buah terlampau manis, tapi masih bisa saya tolelir. Kacang kastanye agak gmn gitu rasanya, tapi cocok buat ngemil.
Masjid di Turki jangan ditanya deh keindahannya, 😀 😀
Saya jadi ikut membayangkan rasa penganan-penganan itu #kyaa. Iya, selain indah, sejarah mereka memang joss banget!
Setuju deh sama kamu 😀
Sip :)).
ahhhh udah sampe ke Turki.. *catet semua*
hahahahha, iya nih alhamdulillah 😀
Mantap bang ceritanya..apalagi di bagian foto sm orang Irak…
Hahhahahhaha, iya tuh, pengalaman paling ga bisa dilupakan.
otak jenglot?? Itu kayak apaaaa! Hahaha perumpamaan kamu lucu banget sih :)))
hihihihihihihih, ya mirip2 kacang kastanye lah :p