25. “Hanya Kolam Susu”

Hari Keenam (6/18)

Saat kuliah dulu, saya dan teman-teman pernah mengunjungi sebuah tempat pemandian air panas. Saya lupa nama tempatnya, tapi letaknya lumayan jauh dari pusat kota Bogor. Kami ke sana berempat menggunakan motor. Tujuan utama bertandang ke tempat ini sebenarnya untuk mengadakan tes bahasa Inggris—salah seorang temanku bekerja paruhwaktu sebagai tutor bagi karyawan setempat. Dan hari itu adalah hari ujian praktek. Jadi lah dua temanku membantu sang tutor untuk melaksanakan ujian, sedang saya sendiri dibiarkan berkeliling dan berendam air panas. Saya tidak mengingat jelas akan tempat itu, tapi ada satu hal yang masih melekat erat di ingatan: bukit batu kapur hasil endapan mineral mata air (panas) yang lazim disebut travertin. Bukitnya terdiri dari dua puncak tak terlalu besar, berwarna campuran antara kelabu dan putih , dengan permukaan berbonggol-bonggol yang terasa halus saat disentuh.

Walaupun bukit batu tersebut tampak cukup unik nan aneh—yang di mataku terlihat seperti gundukan lumpur yang telah mengeras dan tertutup salju—saya tidak begitu terkesima. Mungkin akibat kelebihan ekspektasi setelah mendengar penjelasan menggebu-gebu temanku yang bilang “bukit batunya itu keren sekali! Kamu harus foto-foto di sana”. Atau mungkin juga karena wisata sumber mata air panas jarang sekali masuk dalam daftar teratas di buku jalan-jalanku. Satu-satunya hal terkeren yang terjadi di tempat itu hanya lah saya bisa berendam dengan tenang di bak VIP, gratis dibayari sang tutor.

Namun, jika bicara soal ekspektasi, sepertinya travertin di Pamukkale bukan lah tempat dimana harapan berakhir dalam kekecewaan. Satu-satunya tempat yang membawaku ke Hierapolis ini sungguh membuatku ternganga-nganga saking indahnya. Persis, atau bahkah lebih indah dari yang kulihat di Internet. Luar biasa! Ajaib! Kata-kata dan frase-frase apapun yang mengandung makna agung sangat cocok untuk memberikan predikat yang tepat pada travertin ini. Saya sedang berdiri di puncak bukit berselimut endapan kapur seputih salju yang terasa kesat di telapak kaki, sambil melihat air panas yang mengalir tiada henti ke kolam-kolam alami yang tersusun berundak bagai teras ladang padi. Setelah perjalanan panjang mendaki, melewati sarkofagus, menerobos rerumputan ke kaki bukit, menelusuri reruntuhan kuno lainnya, hingga bertemu patung ayam jantan setinggi orang dewasa yang merupakan hewan kebanggaan provinsi setempat, perjumpaan dengan bukit sumber mata air panas ini sungguh merupakan penutup yang pas dalam tur sore ini.

Bukit kapur menakjubkan ini sejatinya berukuran cukup megah, berwarna putih bersih persis seperti puncak salju pegunungan. Tapi para pengunjung hanya diperbolehkan untuk menjelajahi jalur yang telah dibuat. Dari posisiku sekarang yang menghadap gerbang keluar jauh di kaki bukit, sebelah kiriku merupakan area Museum Arkeologi Hierapolis yang telah ditembok atau setidaknya dikikis bukitnya hingga menyerupai dinding, 20 meter dari tembok tersebut ke arah kananku dibuat semacam parit yang menjadi pembatas bagi pengunjung untuk tidak menjelajahi sisi setelah parit tersebut. Jarak di antara tembok dan parit tersebut lah terbentang kolam-kolam alami berisi air panas tempat keluarga kerajaan zaman dahulu berendam. Entah kenapa kami dilarang berjalan-jalan di sisi setelah parit, padahal areanya tidak terlalu curam. Saya bahkan kena tegur seorang petugas yang membunyikan peluitnya berkali-kali sambil melambaikan tangannya menyuruhku kembali, padahal saya ‘hanya’ berdiri tidak sampai 30 cm jauhnya dari parit di sisi ‘terlarang’.

Suasana di travertin sangat lah ramai. Bahkan dapat kukatakan orang-orang di sini tampak lebih banyak ketimbang seluruh pengunjung yang kutemui selama mengitari bukit-bukit Hierapolis. Bisa saja tujuan mereka ke kompleks reruntuhan kota Romawi kuno ini hanya untuk berkunjung ke travertin dan berendam di kolam-kolamnya, atau saya yang terlalu jauh main hingga ke pelosok tempat kumpulan jasad kuno disemayamkan. Apapun itu, saya cukup senang melihat wajah-wajah penuh senyum bahagia ini karena secara tidak langsung mengingatkanku bahwa saya telah kembali ke peradaban moderen, bukannya tersesat di masa lalu setelah melewati portal waktu di salah satu sudut reruntuhan.

Setelah puas menyapukan pandangan 360°, saya pun berjalan memasuki kolam pertama. Airnya hangat dan berwarna putih kebiru-biruan—sedikit lebih muda dari warna sian. Titik terdalamnya sebatas lutut orang dewasa, memaksaku untuk menggulung celana lebih tinggi. Ternyata air di kolam ini, beserta kolam-kolam lainnya, terisi dari aliran dalam parit. Jadi terdapat semacam parit kecil lainnya yang menghubungkan kolam dan parit utama, layaknya proses irigasi di persawahan. Aromanya sudah pasti busuk khas belerang, yang mau tak mau membuatku teringat akan Kawah Putih di Bandung. Tepi kolamnya berbentuk lengkungan, di mana air yang beriak-riak kecil mengalir melewatinya, jatuh sekitar satu meter merayapi dinding kolam, kemudian mengalir lagi untuk mengisi kolam berikutnya. Sungguh sulit membayangkan bagaimana alam mengukir suatu karya semenakjubkan ini. Paduan warna lembut antara kolam dan airnya begitu sempurna. Seperti telaga ajaib di tengah hamparan salju di negeri Narnia.

Di kolam selanjutnya tampak beberapa anak kecil asyik berendam dalam hangatnya air sambil bermain ciprat-cipratan. Pengunjung dewasa lebih banyak foto-foto serta menikmati sensasi air hangat yang mengalir melewati sela-sela jari kaki. Sama sepertiku yang memilih berjalan di tepi kolam yang dangkal. Saat sedang terpesona memandang indahnya warna air, mataku menangkap setitik warna hitam yang bergerak-gerak di tepi kolam. Agaknya saya cukup gila kalau sampai mengira itu adalah bayi ikan atau semacam kecebong, tapi memang itu lah yang tampak setelah kuberjongkok dan memperhatikan dengan seksama. Makhluk apapun itu, pasti cukup gila untuk hidup di kolam ini. Dunia memang penuh dengan kejutan.

Dari ketinggian bukit ini pula tampak seluruh area perumahan plus perhotelan Pamukkale yang tidak terlalu luas, layaknya gambaran desa kecil yang damai dan tentram, dengan rumah-rumah beratap kemerahan, serta satu masjid berdiri kokoh di antaranya. Sebuah jalan raya sepi membatasi kompleks tersebut dengan wilayah Hierapolis, yang secara tak langsung berfungsi sebagai garis limit antara kebudayaan kuno dan peradaban moderen. Mendekati kaki bukit, tepatnya di dekat gerbang keluar travertin, terdapat sebuah danau dangkal kecil dengan warna air mirip kolam di atas sini. Yang membuatnya unik adalah sebuah pulau kecil berimbun pepohonan tepat di tengahnya. Tampak beberapa perahu bebek tertambat di tepi danau— salah satunya tengah dikayuh mengitari pulau.

Tak terasa saya sudah melewati seluruh kolam-kolam ajaib ini dan hampir tiba di kaki bukit. Jarak antara kolam terakhir dan jalan raya cukup jauh. Sempat terpikir untuk mampir duduk-duduk di bangku tepi danau sambil melihat burung-burung yang bersarang di pulau. Tapi langit sudah tak lagi biru cerah. Awan kian menggumpal dan suhu kembali drop. Setelah menyeberangi jalan raya, saya pun memasuki gang yang kanan-kirinya berjejer kafe serta restoran. Tepat di ujung jalan, saya belok kanan dan langsung memasuki Ottogar. “Coba jelaskan lagi mengenai paket tur di Selҫuk yang Anda tawarkan” kataku setelah duduk di bangku depan meja pria yang membantuku mengganti tiket bus pagi tadi. Saya memang memiliki janji dengannya sore ini. Sambil menunjukkanku beberapa foto wisata di layar komputer, dia menjelaskan jadwal tur: mulai dari waktu penjemputan, apa saja yang akan kami kunjungi, fasilitas makan siang, hingga harganya yang terhitung murah. “Lagipula, tidak ada angkutan umum menuju beberapa lokasi wisata tersebut”, tambahnya lagi sambil mengangkat kedua bahunya, yang secara ajaib membuatku makin yakin untuk mengambil tawarannya. “Oke”, sahutku akhirnya. Dia pun membuat dua kwitansi: satu untuk bus ke Selҫuk, satu lagi untuk paket tur. “Ada nomor teleponku di kwitansi,” telunjuknya menyapu bagian tiket yang tertulis deretan angka “kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya saja”. Setelah berterima kasih, saya pun beranjak keluar gedung.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, saya mampir ke warung untuk beli air. Perutku keroncongan semenjak tadi, tapi saya lagi tidak ingin makan makanan Turki. Saya hanya ingin secepatnya berada di bawah pancuran air hangat, makan kue sebanyak-banyaknya, kemudian tidur.

(Big thanks yaa Mba Urin for the treat that day. Hope you smile while reading this 🙂 )

One response to “25. “Hanya Kolam Susu”

Yang dah nyasar kesini, jangan lupa tinggalkan jejak ;-)