26. Bau Rica (1)

Hari ketujuh (7/18)

Pernah kah kita bertanya-tanya, seperti apa aroma tubuh kita, atau orang Indonesia secara keseluruhan, pada saat sedang berada di negara orang? Tentu kita pernah tanpa sengaja mencium aroma keju yang menguar dari tubuh para bule yang berkeringat disengat matahari Bali. Atau aroma bawang yang berkeliaran kemana-mana saat berada di sekumpulan orang India. Ini memang terdengar agak rasis, tapi saya yakin makanan apapun yang paling sering dikonsumsi warga negara tertentu memiliki andil yang besar dalam menentukan bau khas tubuh. Dan berdasar asumsi tersebut, bisa jadi di hidung orang asing tubuh masyarakat Indonesia beraroma ‘rica’—kata yang kami pakai di Jayapura untuk menyebut ‘cabai’—karena kebanyakan dari kita doyan sekali makan sambal.

Ini hanya lah teori asal-asalan, dan saya juga tidak cukup gila untuk bertanya mengenai bau tubuhku pada warga lokal yang kutemui selama melancong di luar negeri. “Pemisi, bisakah kamu menebak aroma tubuhku? Apakah terkesan pedas? Atau terasi mungkin? Opor ayam?”, pertanyaan seperti ini hanya akan membuatku dianggap orang aneh yang terobsesi dengan aroma tubuh. Memakai deodoran dan parfum pastinya cukup membantu, tapi yakin lah dan percaya bahwa bau khas tubuh kita akan tetap melekat erat layaknya identitas bangsa. Seperti yang terjadi pada pramugara muda yang tengah hilir mudik di koridor antarbangku bus: tiap kali dia melewatiku, saya mencium sesuatu yang menyengat. Apalagi saat dia kebetulan berhenti di dekatku, aromanya makin menguar kemana-mana.

Saya sedang dalam perjalanan-4-jam menuju kota Selҫuk yang masuk dalam teritori Provinsi İzmir, tetangga dekat Provinsi Denizli yang baru saja kutinggalkan. Seperti yang dijanjikan sang petugas, sebuah minivan memang menjemputku di Ottogar tepat jam 8 pagi, yang kemudian membawaku ke jalan antarprovinsi dimana bus besar telah menunggu. Perjalanan ini harusnya terasa menyenangkan—gedung-gedung moderen sepanjang mata memandang, tepi jalannya penuh dengan bunga warna-warni, matahari bersinar cerah, bahkan kejutan kecil dari nama bungkus makanan ringan (diberi oleh sang pramugara) yang sama persis seperti nama perusahaan tempatku bekerja—kalau saja saya tidak terpaksa menahan kencing. “30 menit lagi”, sahut sang pramugara. Rasanya itu adalah jawabannya saat kutanya perihal mampir ke toilet setengah jam yang lalu. Dan asal tahu saja, saya sudah bertanya 4 kali. Beberapa turis Tiongkok juga bernasib sama, bahkan salah satunya lebih agresif dengan berjalan bolak-balik bangku-supir untuk mengingatkan tentang kandung kemihnya yang sudah tak sanggup menahan air seni. Untung lah tak berapa lama kemudian laju bus mulai melambat, lalu berhenti di depan sebuah minimarket. Ternyata hampir semua yang naik bus turun dan melangkah cepat ke toilet.

Sisa perjalanan kuhabiskan dengan mengecek tempat-tempat wisata di Selҫuk melalui Internet sambil sesekali melihat pemandangan di balik jendela. Sebuah tur memang sudah diatur buatku, tapi itu untuk esok hari. Jadinya saya disarankan oleh sang petugas di Ottogar Pamukkale untuk mengunjungi desa wisata pembuat minuman anggur serta sebuah pantai yang letaknya tidak terlalu jauh dari ottogar. Saya sempat mengatakan padanya kalau saya ingin main ke Konak, sebuah metropolitan di pesisir teluk yang merupakan pusat kota İzmir. Tapi pria tersebut tidak menyarankannya dengan alasan kota tersebut “terlalu moderen” dan saya harus naik angkutan umum lagi menuju tempat itu. Kata-katanya cukup masuk akal, dan lagi saya tidak akan punya cukup waktu untuk berjelajah sejauh itu mengingat jam ketibaanku di Selҫuk saja sudah tengah hari. Belum mencari hotel, makan siang, serta perjalanan bolak-balik Selҫuk-Konak.

Sekitar setengah jam kemudian bus pun memasuki ottogar. Kali ini, ottogarnya digarap cukup serius karena memiliki lahan parkir luas yang dipenuhi deretan bus dan minivan. Setelah bus berhenti sempurna, saya pun segera turun, mengambil dan memanggul ransel, kemudian menuju kantor Metro. Saya ingin memastikan keberangkatan bus besok malam sekalian menanyakan lokasi penginapanku. Dengan bahasa Inggris yang sulit dimengerti, dia mencoba menjelaskannya padaku. Walau perkataannya tidak begitu mudah dipahami, setidaknya tangannya yang mengarah ke seberang jalan cukup membantu. Saya kembali memastikan jadwal bus besok malam, berjanji padanya akan datang satu jam sebelum waktu keberangkatan, berterima kasih untuk info yang diberikan, lalu berjalan menuju arah yang tadi ditunjuknya.

Setelah menyeberangi jalan dengan lalu lintas yang cukup sibuk, saya pun memasuki taman rindang hingga bertemu lagi dengan jalan yang lebih kecil. Di sisi lain jalan tersebut ada sebuah jalan lurus yang memasuki daerah perumahan. Dan tepat di salah satu fasad deretan bangunan itu bergantung papan nama Ali Baba & Mehmet Kebab House. Saya segera menyeberang dan menghampiri restoran tersebut. “Bisa kah Anda memeberitahuku letak penginapan Alibaba’s House?” tanyaku pada seorang pria yang berdiri di belakang mesin kasir. Dia mengajakku keluar, lalu memulai penjelasannya sambil menunjuk-nunjuk. Dia berbahasa Turki, yang pastinya tidak kumengerti, tapi dari belokan-belokan yang diisyaratkan tangannya, saya jadi paham. “Terima kasih”, kataku, kemudian berjalanan meninggalkannya.

Setelah tiba di persimpangan, saya mengambil arah kiri dan terus melangkah mengikuti jalan yang cukup sepi hingga bertemu dengan dua belokan ke arah kanan. Untung saja di salah satu belokan tersebut tertancap plang Alibaba’s House, sehingga makin memudahkanku untuk menemukan penginapan itu. Memasuki jalan kecil tersebut, dari kejauhan telah tampak plang lainnya yang menggantung di atas pintu pagar besi yang terbuka ke arah jalan. Saya pun mempercepat langkah dan langsung saja berjalan melewati ambang pintu yang membawaku ke sebuah ruang terbuka berukuran sekitar 4×8 meter. Terdapat sepeda berkeranjang yang diparkir di samping pintu masuk, sebuah tangga besi menuju lantai atas yang menempel di dinding sebelah kiri, dan tepat di bawah tangga tersebut ada sepetak taman kecil, atau mungkin lebih tepatnya kebun, yang berisi tanaman berbunga serta (yang kuduga) sayuran. Sebuah jalan kecil di sisi kanan menghubungkan pintu masuk yang baru kulalui dengan pintu lainnya, dimana di ambangnya berdiri seorang wanita berperawakan tinggi kurus. Dia tersenyum ramah padaku, kemudian mempersilakan masuk ke ruang kecil di dalamnya yang ternyata berfungsi sebagai ruang tunggu sekaligus ruang makan.

Tak lama kemudian muncul seorang wanita lainnya, tampak lebih muda, sambil membawa sebuah buku panjang. Saya segera mengambil kertas bukti pemesanan serta paspor, kemudian memberikan padanya. Setelah mencocokkan dengan data di bukunya, wanita itu langsung memulai penjelasan mengenai penginapannya, waktu makan pagi, serta meminta waktu sebentar untuk merapikan ruang tidurku. “Kamarmu ada di sana”, jelasnya , arah tangannya melewati pundakku. Saat tadi melewati taman (atau kebun) di depan, saya tidak menyadari kalau ada pintu lain di situ. Wanita tersebut kemudian berbicara sebentar dengan sang wanita tua, lalu meminta diri untuk kembali ke urusannya di ruangan lain.

“Ҫay?” tawar sang wanita tua, yang tentu saja kusambut dengan anggukan. Beliau tampak sangat tinggi, mungkin ditunjang tubuhnya yang kurus serta mengenakan pakaian terusan berwarna hitam. Sepotong kain merah cerah terikat menutupi rambutnya yang disisir rapih ke belakang. Wajahnya selalu dihiasi senyuman, tirus, dan penuh garis-garis uzur. Tapi beliau tidak tampak seperti wanita tua sakit-sakitan yang perlu sebuah kursi goyang dan daun sirih untuk dikunyah. Beliau terlihat sehat, lincah, dan bahagia. Kegiatan sesederhana menyeduh teh saja tampak sangat menyenangkan saat hal itu dilakukan olehnya. Tiba-tiba kujadi teringat wanita tua lainnya yang kutemui di penginapan di Gӧreme, dengan tawaran minuman teh yang sama. Sebuah bentuk keramahan sekecil ini mampu membuatku merasa begitu nyaman.

Setelah menaruh segelas teh di meja di depanku, beliau langsung menuju kamarku untuk berbenah. Sambil menyesap teh hangat tersebut, pandanganku mulai menyapu ruangan. Hampir seluruh dinding digantungi permadani dengan motif khas Turki. Begitupun ketiga mejanya yang berselimut taplak etnik. Walaupun dekorasinya tampak lebih sederhana dibanding ruang tunggu Venus Hotel di Pamukkale, ruangan ini justru memberikan kesan ‘rumah sendiri’ padaku. Sebuah televisi bertengger di atas meja kayu tak jauh dari meja besar lainnya tempat sang wanita tua membuat teh. Jendela besar yang langsung menghadap taman (atau kebun) meloloskan sinar mentari, sehingga seluruh ruangan tersirami cahaya alami.

Tak lama kemudian sang wanita tua kembali ke ruang tunggu, lalu berkata sesuatu dalam bahasanya yang kuartikan sebagai “kamar sudah siap. Anda bisa menempatinya sekarang”. Segera kuhabiskan teh, berterima kasih padanya, lalu memanggul ransel dan menuju kamar. Ruang tidurku ternyata lumayan besar untuk ukuran satu penginap—jauh lebih luas dari semua kamar yang telah kutempati enam hari ke belakang,juga termasuk yang paling simpel dengan furtinur rumahan. Saya cukup menyukainya. Tapi ketiadaan mesin pemanas ruangan seketika membuatku panik. Saya sudah mencari di tiap sudut, di belakang tempat tidur, di balik meja dan bangku, di langit-langit, bahkan di kamar mandi, dan hasilnya nihil. Hmm, oke, malam ini akan menjadi malam dingin yang panjang.

Semoga saja tubuhku yang menghangat setelah menenggak teh tadi bisa bertahan hingga esok pagi.

One response to “26. Bau Rica (1)

Yang dah nyasar kesini, jangan lupa tinggalkan jejak ;-)

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s