13. Mau—Tak Mau

Hari Ketiga Menuju Hari Keempat (3-4/18)

Bunyi bel tram yang nyaring bergema di dalam gerbong, menandakan bahwa stasiun berikutnya hampir dicapai. Saat badan kereta berhenti total dan pintu bergeser terbuka, saya langsung melompat dan berlari ke arah pintu keluar. Terus berjalan mengitari blok hingga bertemu dengan jalan raya yang lumayan lebar. Saya pastikan dulu lajur kiri-kanannya lengang, lalu segera melangkah cepat menyeberanginya. Ranselku yang berat terpental-pental di punggung, membuat pundakku nyeri. Tapi saya tak bisa memperlambat langkah biar satu pun karena jarum pendek sudah hampir melewati angka 9. Harus segera tiba di otogar kalau tidak mau ketinggalan bus.

Sesampainya di seberang, saya langsung mencari gerbang Metro. “Terus saja ke sana” jawab seorang pria yang kutanya, tangannya menunjuk pada sebuah bangunan tak begitu jauh dari tempat kami berdiri. Perhitunganku benar kali ini, jarak
Continue reading

12. Harta Karunku

Hari Ketiga (3/18)

Baik itu baik, tapi terlalu baik itu tidak baik, begitu kata dosenku dulu padaku. Perkataan itu, entah bijak entah menghina, meluncur hanya karena saya membantu mengangkat kertasnya yang berceceran di lantai. Mungkin itu sebuah “nasehat” terselubung. Tentu saja menjadi manusia baik adalah hal yang baik. Tak ada yang salah dengan itu. Memberi makan kucing yang kelaparan itu baik, apalagi makanannya Whiskas. Tapi apakah sekedar berkeinginan untuk mengumpulkan bercarik-carik dokumennya yang terjatuh ke lantai terhitung sebagai sesuatu yang “terlalu baik”? Sampai-sampai malah menjadi perlakuan “tidak baik”. Mungkin pak dosen mencium gelagat “seorang Continue reading

11. Sebuah Simbol

Hari Ketiga (3/18)

“Maaf bapak. Tolong antri, ya! Saya datang duluan!” bentakku sambil tahan-tahan emosi kepada dua orang pria dewasa tidak tahu aturan. Saat itu saya, dan kami semua yang berdiri di depan loket layanan penumpang Lion Air Bandara Sentani Jayapura, hendak menunjukan kode tiket untuk kemudian dicetak oleh sang petugas. Saya sudah mengesampingkan kesan ‘anak muda sopan’, karena perilaku memalukan bapak-bapak itu sangat tidak bisa saya toleransi. Bagaimana mungkin sebagai orang dewasa yang seharusnya mencontohkan sikap ‘ayo budayakan mengantri’ malah ditegur yang lebih muda karena tidak mengindahkan peraturan. Tanganku langsung menyingkirkan beberapa kertas bertulis kode dari lubang kecil penghubung kami dengan sang petugas di balik dinding kaca, kemudian menaruh milikku sendiri. Tak ada yang berani membantah saat itu, mungkin karena sudah terlanjur malu. Segera setelah mendapat tiket, saya langsung berlalu meninggalkan loket.

Diakui atau tidak, kebanyakan orang Indonesia memang memiliki masalah dengan yang namanya Continue reading

10. Tolok Ukur

Hari Ketiga (3/18)

Dari semua kota yang pernah saya kunjungi di Indonesia, mungkin Bogor adalah yang paling terhijau. Tidak hanya karena berbaris-baris pohon raksasa yang berdiri di sepanjang jalan Padjajaran, tapi juga akibat ribuan angkotnya yang hijau terang. Sebagai transportasi andalan masyarakat setempat, termasuk bagiku kala masih tinggal di sana, angkot adalah sesuatu yang ironi; dicintai sekaligus dibenci. Dengan jangkauan treknya yang luas, tentu saja kemana-mana jadi mudah dan murah. Tapi penyakit ngetemnya itu yang bikin dongkol. Biar kata 4 tahun tinggal di sana, saya tidak pernah benar-benar terbiasa dengan hal tersebut.

Para supir punya trik tersendiri untuk menggaet penumpang kala sedang ngetem; beberapa temannya ramai-ramai duduk dalam angkot, seakan-akan sudah hampir penuh dan siap untuk diberangkatkan. Tapi pas ada yang hendak Continue reading

9. Kubah, Pilar, Menara

Hari Ketiga (3/18)

Saat masih SMA dulu, saat masih zaman-zaman labil tanpa pendirian tetap, saya paling malas yang namanya shalat Jumat. Mungkin ini aib terbesar seorang pria yang tidak mungkin diceritakan pada sahabat terdekat sekalipun. Sangat memalukan. Dan sebisa mungkin berbohong saja kalau ditanya shalat atau tidak. Hampir tiap Jumat saya lewati dengan bersembunyi dalam rumah, yang penting tidak ada orang yang lihat. Pernah sekali saya sampai ditarik-tarik sambil dinasehati oleh saudara yang peduli dengan dosaku, tapi saya keukeuh malas ke masjid. Saat itu sebenarya bukan karena benar-benar tidak mau, tapi saya sudah kudung malu, takut dilihat tetangga lain dengan pandangan menuduh mereka “ini setan kok tiba-tiba dapat hidayah mau ke masjid?”. Dan bodohnya saya memilih tetap menjadi setan. Setidaknya teman-teman di sekolah tidak tahu, pikirku.

Saya baru mulai sadar saat pindah kuliah di Bogor. Saat itu saya pikir, orang-orang di sana tidak mengenalku. Jadi tidak akan ada pandangan menohok itu kala melangkah ke masjid nanti. Jadi lah tiap
Continue reading

8. Ayo Berpesta!

Hari Kedua (2/18)

Faun—makhluk imajinatif aneh bin ajaib. Dari pinggang ke bawah berwujud kaki kambing plus bulu-bulunya yang kecokelatan. Sedang bagian ke atas nyaris normal manusia biasa dengan tambahan janggut panjang, telinga runcing, serta sepasang tanduk. Pertama kali melihatnya muncul di film Narnia dan Lemari Ajaib, dimana setelah Lucy berhasil berteleportasi ke “dunia lain” tersebut, ia langsung bertemu dengan Faun. Makhluk jadi-jadian tersebut sedang dalam perjalanan pulang melewati tumpukkan salju. Cara berjalannya aneh, seperti orang sakit pinggang. Lucy yang awalnya takjub, langsung jatuh sayang padanya. Mereka pun berteman dan merayakannya dengan pesta minum teh di kediaman Faun.

Untuk saat ini sepertinya saya punya dua kesaaman dengan Faun; pertama, Continue reading

5. Melenceng Melancong

(Hari Kedua: 2/18)

Jika diperhatikan dengan seksama, film kartun Disney hampir selalu menampilkan cerita dengan latar belakang musim semi—musim yang sepertinya diindetikan dengan kebahagiaan. Kalaupun di awal cerita tumpukan salju memenuhi layar TV, pasti pada akhirnya akan mencair, tergantikan oleh rumput hijau nan segar berhias bunga warna warni yang tumbuh hanya dalam beberapa detik. Hewan-hewan pun keluar dari sarang, bermain ceria menyambut hangatnya sinar mentari. Semua gembira. Tulisan “Happily Ever After” pun melengkapi kebahagiaan tersebut. Tamat.

Kalau memang musim semi semenyenangkan itu, ingin rasanya Continue reading

2. Menuju Kegilaan

Prapemberitahuan: Perjalanan ini sejatinya dilakukan oleh dua orang pelancong, yaitu saya dan teman. Namun, dengan alasan tertentu, kami sepakat untuk tidak memasukkan satupun hal mengenai teman saya dalam jurnal perjalanan kali ini. Karena itu lah, cerita ini saya susun seakan-akan hanya saya seorang yang menjalaninya, dengan tanpa mengurangi atau melebihkan esensinya, walaupun ada perubahan dari sisi penokohan. Semoga pembaca menikmati.

(Hari Pertama: 1/18)

Saya pernah baca di beberapa artikel berita daring bahwa tingkah wisatawan Tiongkok itu kampungan. Awalnya saya tidak percaya, tapi setelah melihat kelakuan mereka dalam penerbangan ini secara tidak langsung mengaminkan pemberitaan tersebut. Kami telah mendarat dengan mulus di bandara internasional Attatürk, dan saat pilot masih menyetir pesawat menuju parkiran, sebuah rombongan turis asal negeri tirai bambu sudah berdiri sambil mengeluarkan tas mereka dari kabin. Jujur di Indonesia juga ada manusia kampungan kayak begini; Continue reading