Hari Keenam (6/18)
“Anda mau kemana? Jalan ini buntu. Ambil jalan yang lain” perintah seorang petugas berseragam yang berjalan menghampiri, tanpa repot-repot menungguku menjawab pertanyaannya.
Rasa penasaran, yang selalunya terlampau besar, telah membawaku ke jalan ini. Layaknya saat mengunjungi museum, sebisa mungkin kuharus melihat seluruh koleksi yang dipajang, bahkan yang berbentuk kecil sekalipun di sudut ruangan yang tidak diperhatikan orang lain. Tidak ada yang boleh terlewati. Semua harus tersapu bersih oleh mataku. Mungkin tindakan ini lebih tepatnya disebut ‘penasaran + ogah rugi’. Ya, pikirku, sangat merugikan kalau sudah bayar sekian uang demi selembar tiket, dan tidak menikmati semua yang dipamerkan. Seperti di Hierapolis ini, dimana ada sejumlah jalan bercabang di antara rerumputan, mengarah ke beberapa penjuru tanpa plang informasi. Jadi lah saya tidak punya pilihan selain menyusurinya satu persatu, walau kali ini berakhir dengan perintah untuk putar arah karena alasan tertentu.
Saya pun melangkah kembali ke persimpangan. Sempat terpikir untuk kembali ke arah reruntuhan teater dan terus berjalan menuruni bukit. Ada reruntuhan lainnya yang bisa kujelajahi di sana. Namun rasa penasaran malah membawaku ke jalur mendaki. Entah karena telah berjalan menanjak sejak tadi, atau karena matahari sudah memutuskan telah tiba saatnya untuk benar-benar menghangatkan musim semi, udara di sekitarku tidak lagi menggigilkan—lebih terasa sejuk. Ini cukup menyenangkan karena siang ini saya hanya memakai baju kaos berlapis sweater cokelat tipis, tanpa harus direpotkan dengan syal dan jaket tebal. Sepertinya kian ke Selatan negeri ini, cuaca jadi makin hangat dan bersahabat.
Jalur yang sedang kutempuh tampak sama seperti yang telah kulalui semenjak melewati gerbang di kaki bukit: jalan lebar berkerikil putih dengan pagar rumput hijau cerah yang tampak kontras bersanding satu sama lain. Yang membedakan hanya lah tangkai-tangkai berkelopak kuning yang menyebar lebih banyak dan lebih luas sepanjang mata memandang—yang ajaibnya mengingatkanku pada film Kuch-kuch Hota Hai saat Anjali sedang bernyanyi sambil berlari-lari di tengah padang bunga kuning. Sisa-sisa reruntuhan berupa struktur bangunan berbagai ukuran yang tersusun dari blok-blok batu besar berdiri membisu di tiap sisi jalan. Mereka terlihat rapuh dan kokoh di saat yang sama. Seperti cangkang keong yang telah ditinggalkan sang empunya di tepi pantai—tersapu ombak tiada henti, tetapi masih utuh dan tertancap erat di pasir putih.
Di ujung pendakian, sebuah jembatan kayu, yang pastinya terlalu moderen untuk ukuran garis waktu Hierapolis, terpasang kokoh di atas lembah kecil yang mungkin saja dulu dialiri sungai. Dari plang yang tertancap di dekatnya, jembatan ini bernama resmi Aziz Philippus Kӧprüsü atau Jembatan Santo Filipus (St. Philip’s Bridge). Jembatan ini pastinya adalah hasil rekonstruksi karena—seperti yang sudah kubilang tadi—susunan kayu yang terpaku satu sama lain serta kerangka besi yang menguatkan pondasi tampak terlalu ‘masa kini’. Apapun itu, jalur ini sepatutnya mengarah ke sesuatu yang cukup penting karena ujung jembatan di seberang langsung tersambung dengan susunan tangga batu yang cukup menanjak.
Sesampainya di puncak tangga dengan napas ngos-ngosan, saya langsung disambut empat pilar setinggi empat meter yang berderet dalam jarak cukup lebar. Di ke dua ujungnya berdiri masing-masing dua pilar identik lainnya yang berfungsi sebagai sisi “panjang” sebuah ruangan yang semestinya berdimensi balok apabila empat pilar sisi “lebar” di belakang tidak runtuh. Pemandangan ini sungguh menarik, seperti melihat potongan gambar zaman Romawi kuno dari buku sejarah yang kertasnya sudah menguning. Saya pun menjelajahi lebih jauh reruntuhan lainnya yang terbagi dalam beberapa kompleks kecil: sebuah menara kecil persegi dengan ceruk berbentuk pintu buntu di bagian depannya, sebuah ruang terbuka yang dikelilingi dinding dengan beberapa (kalau memang bisa disebut) jendela, kemudian berakhir di ruang terbuka lainnya yang memiliki beberapa reruntuhan lebih unik lagi berupa menara balok setinggi kurang lebih delapan meter dengan lorong beratap melengkung di dasarnya sehingga tampak seperti huruf ‘n’ raksasa. Kesemuanya disusun mengeliling. Saya benar-benar buta akan tempat ini, tapi perasaanku mengatakan bahwa area ini adalah semacam kuil tempat berdoa atau hal-hal lain yang berkaitan dengan pemujaan terhadap apapun yang dianut warga Hierapolis.
Ini memang hanyalah asumsi semata, tapi saya mulai merasa tidak nyaman berlama-lama di sini. Seperti mendapati diri terjebak di dalam sebuah ruangan yang tidak semestinya dimasuki. Namun memang rasa penasaran, plus ogah rugi, selalu berhasil mengarahkan langkahku ke sudut-sudut tak terduga. Di salah satu sisi dinding terluar yang memagari menara-menara batu aneh ini ada sebuah pintu keluar, dimana saat dilewati ternyata berakhir pada sebuah jalan kecil, atau lebih tepatnya jalan setapak yang mengarah ke bukit. Saya bisa saja memutar balik, tapi jalur ini tampak sangat menarik untuk ditelusuri. Seperti menemukan sebuah lorong rahasia di dalam goa buntu; sebuah laci tersembunyi di dalam lemari kayu tua; rasanya terlalu menggoda untuk diabaikan. Tak ada salahnya menelusuri jalan ini. Siapa tahu ada yang menarik di ujungnya. Kalau pun tidak ada apa-apa, tinggal putar balik.
Sedikit menarik ke belakang, pernah suatu kali, entah beberapa tahun lalu, saat sedang mencari gambar-gambar lucu di Google untuk dipasang jadi foto profil BBM, saya menemukan gambar salah satu karakter kartun favoritku Peter Griffin dari serial Family Guy. Di dalam gambar bergerak tersebut Pria tambun bermata bulat itu sedang melirik ke dinding, tepatnya ke sebuah tombol merah yang di atasnya ada keterangan “jangan ditekan”. Tapi bukan Peter Griffin namanya kalau ia tak dapat membendung rasa penasaran yang pada akhirnya membuatnya dihajar oleh seorang pria berkostum putih dengan sabuk hitam yang muncul karena tombol itu ditekan. Well, mungkin saya juga telah menekan tombol merah tersebut, karena ternyata di ujung jalan setapak reruntuhan-reruntuhan yang bentuknya mendekati semacam sarkofagus mulai menampakkan diri. Saya mencoba meyakinkan diri bahwa struktur berbentuk rumah-rumah kecil ini hanya lah reruntuhan biasa, tapi mereka memang terlihat sangat pas untuk menyimpan mayat.
Walau bergidik, saya masih sempat mengambil beberapa gambar serta mencuri pandang bagian dalam beberapa kuburan batu yang sudah hancur. Siapa tahu di dalamnya masih tertinggal tulang-belulang manusia. Kompleks kuburan kuno ini letaknya tepat di sisi bukit yang langsung menghadap pemandangan indah berupa lapangan luas di bawah sana, tapi saya bukan lah penikmat wisata kuburan yang bisa lama-lama berdiri di antara perumahan orang mati. Mau kembali ke jalur awal, sudah terlalu jauh. Untungnya saat itu juga mataku menangkap jalan setapak yang tersembunyi di antara rerumputan. Kali ini tanpa pikir panjang saya langsung melangkah cepat memasuki jalan tersebut. Walau kemungkinannya cukup besar bagi jalan ini untuk buntu di bawah sana, toh saya bisa berjalan melewati kumpulan tanaman yang ada.