Hari Ketujuh (7/18)
Sambil menikmati lezatnya es krim, saya pun lanjut mengeksplorasi Şirince. Setelah melewati masjid dan tiba di ujung jalan yang lagi-lagi bercabang dua, saya mengambil arah kiri yang membawaku ke deretan toko-toko sovenir yang tampak lebih menarik dan penuh warna. Setiap toko memiliki barang dagangan masing-masing: mulai dari toko penjajah rempah-rempah yang ditaruh dalam boks-boks dan wadah-wadah bermotif tradisional; kedai-kedai penjual krim wajah serta produk hasil ekstrak minyak zaitun; etalase-etalase penuh stoples berisi asinan zaitun hijau dan hitam; kotak-kotak besar bertabur sabun-sabun yang memiliki bentuk buah-buahan dengan warna khasnya; rak-rak bertata tas wanita, piring, dan mangkuk warna-warni; serta baju-baju dan kain-kain yang digantung dan ditumpuk di depan toko pakaian. Rasanya seperti baru saja melewati sebuah pawai besar nan meriah.
Selain pajangan-pajangan atraktif tersebut, ada dua hal menarik lainnya yang kutemukan: 1) Kata ‘sabun’, dan 2) Jimat biru. Bersandar di rak tumpukan sabun balok kehijauan, tampak beberapa carik kertas cokelat bertuliskan “3 soap 1 €, 4 SABUN 5 TL (Turkish Lira)”. Ini cukup mengejutkan. Bagaimana mungkin ada kata Indonesia/Melayu di salah satu sudut terpencil Turki ini? Apa karena banyak wisatawan asal Malaysia doyan beli sabun di sini? Ternyata, setelah nantinya kucek di Google Penerjemah, perlengkapan mandi tersebut memang dieja dan dilafalkan demikian dalam bahasa Turki, sebagaimana dalam bahasa Indonesia/Melayu. Sebagai seseorang yang menyukai belajar bahasa, mengetahui hal kecil ini saja bisa sangat menyenangkan.
Hal menarik selanjutnya adalah benda bulat berwarna biru cerah dengan motif berbentuk mata. Sebenarnya, sejak pertama kali menginjakkan kaki di Istambul, saya selalu menemukannya dalam berbagai bentuk: gantungan kunci, hiasan pintu, gelang, kalung, dan lain-lain. Namun yang kutemukan kali ini cukup berbeda karena benda tersebut malah ‘ditanam’ di lantai depan salah satu toko, meninggalkan salah satu sisinya tampak bagi siapapun yang mengunjungi toko. Setahuku, jimat ini dikenal dengan nama Nazar Boncuğu (Nazar: mata, Boncuğu: manik-manik) yang berfungsi untuk melindungi si pemilik dari kejahatan sang mata setan. Entah mata setan mana yang ditangkal, tapi kayaknya jimat ini lebih berfungsi sebagai penarik keberuntungan—atau dalam kasus toko ini sebagai ‘penarik pelanggan’—seperti yang dikatakan sang penjahit di Gӧreme yang memberiku satu saat kubeli sarung tangan di tokonya.
Sesampainya di toko terakhir, saya pun memutar balik, lalu menjelajahi jalur kanan yang menanjak. Jalan mendaki ini lebih banyak diisi restoran dan kafe. Saya kemudian berhenti di depan sebuah kedai anggur sederhana yang seluruh dindingnya berupa jendela plastik bening, dimana di baliknya dipajang botol-botol anggur. Permukaan pintu gesernya yang terbuka ditempeli beberapa carik kertas, yang anehnya tertulis kalimat-kalimat dalam huruf Korea. Mungkin sebagian besar pelanggannya adalah turis dari negara tersebut. Ada juga kertas berisi lambang Visa dan MasterCard di bagian paling bawah. Sebuah plang besar berbentuk elips terpasang di ujung atap tepat di atas pintu, dengan nama “Erman Şarap Evi, Wine House” tertulis di permukaannya.
Seorang pria bertubuh tambun menyapaku dari balik meja minibar saat saya memasuki kedai. Wajahnya mirip sekali dengan penjual es krim tadi, tentunya dengan versi lebih muda. Bahkan letak tahi lalat di pipi kirinya sama persis. Kemungkin besar mereka bersaudara. Setelah menyapa balik, saya pun memberitahu maksud kedatanganku, bahwa saya tidak berniat membeli maupun mencicipi anggurnya karena memang saya tidak mengonsumsi minuman tersebut (walaupun dia tidak keberatan untuk menuangkan sesloki), dan bahwa saya hanya ingin bertanya-tanya tentang sejarah kedainya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan produksi anggur, karena pada akhirnya saya akan menuliskannya di blogku untuk bantu mempromosikan kedainya. Bagusnya dia setuju, dan kemudian mulai bercerita tentang kegiatan berniaga keluarganya dalam membangun dan menjalankan usaha produksi anggur, dan bahwa mereka memiliki tempat penyimpanan anggur berusia 350 tahun! Saya bahkan sempat melirik tempat penyimpanan tesebut di balik pintu tepat di belakang minibar ini. Tak heran lah Şirince dijuluki desa pembuat anggur. Kalau sudah berjalan hingga ratusan tahun, tak ada keraguan untuk berkata mereka adalah pemain ulung dalam bisnis anggur tradisional.
Penjelasan selanjutnya mengenai buah apa saja yang difermentasi menjadi minuman anggur. Dia menaruh beberapa botol di hadapanku kemudian menyebutkannya satu persatu: anggur, bluberi, blekberi, mulberi hitam, persik, melon, serta delima. Tiap rasa dibedakan dari label botol yang memiliki gambar buahnya masing-masing. Soal harga? Saya tidak mau menanyakan, karena tidak mau terjebak dalam situasi “tidak mau beli tapi tanya-tanya harga”. Bagaimanapun juga saya yakin tiap rasa pasti memiliki nilai yang berbeda, dan lamanya penyimpanan juga memiliki andil yang besar dalam menentukan harga. Dia mengakhiri penjelasannya dengan menawariku sekali lagi untuk mencoba, tapi saya menolak dengan halus. Setelah mengambil beberapa foto, saya pun berterima kasih padanya, kemudian meninggalkan kedai.
Saat menuruni jalan, saya menemukan plang bertulis “gereja” yang mengarah ke sebuah jalan kecil. Setelah menelusurinya, saya mendapati diri berdiri di sebuah pekarangan cukup luas di mana beberapa mobil dan kendaraan pertanian diparkir. Tepat di hadapanku, di sisi bukit, tersusun rumah-rumah yang merupakan contoh sempurna perpaduan budaya Turki-Yunani. Dari jarak sedekat ini, perumahan itu bahkan tampak lebih elegan sekaligus klasik. Menurut sejarah, orang Yunani lah yang pertama kali menghuni Şirince. Mereka kabur dari kejatuhan kota kuno Efesus, lalu menempati dan membangun desa ini hingga berabad-abad kemudian. Di beberapa masa setelahnya orang Turki memasuki desa dan mereka pun hidup berdampingan—di periode ini lah asimilasi itu tercipta. Celakanya, pada tahun 1925, tepat setelah berakhirnya perang dunia pertama, kedua negara membuat perjanjian, dimana orang Turki di Yunani harus balik ke Turki, begitupun sebaliknya. Jadi lah bangsa Yunani yang terpaksa angkat kaki dari Şirince hanya meninggalkan kenangan dan tanda mata berupa arsitektur rumah yang khas serta sebuah gereja Ortodoks yang saat ini telah direstorasi. Tampak rumah ibadah berwarna cokelat tanah itu masih berdiri kokoh di antara perumahan.
Setelah puas mengelilingi desa, saya pun melangkah kembali ke jalan utama menuju tempat pemberhentian minibus. Selama berjalan, kuberpikir, menjelajahi desa ini sungguh sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Selama tujuh hari ke belakang saya telah mengunjungi tempat-tempat bersejarah di negara ini, tapi Şirince lah yang paling berbeda. Desa ini tua dan antik, penuh kisah dan memori. Tapi dia lah yang paling ‘hidup’ di antara semuanya, seperti sebuah museum yang terselubungi lingkaran waktu tersendiri. Dunia tergerus zaman di sekelilingnya, tapi setiap entitas di Şirince tetap bertahan sebagaimana mulanya. Mungkin ada benarnya juga keputusan para pendiri pertama menamakan desa ini Ҫirkince, yang berarti jelek dalam bahasa lokal, agar tak ada orang asing yang berniat datang untuk ikut menikmati keindahan setempat. Sederhananya, mereka cuma tak ingin diganggu. Walau pada akhirnya nama itu berganti menjadi Şirince, yang berarti cantik/indah, dan siapapun bebas mengunjunginya sekarang, sebuah nilai luhur untuk terus ‘menjaga’ dan ‘mempertahankan’ keindahan itu tetap hidup sebagaimana diharapkan sejak dahulu.
Itu yang merah2 kayak batu bata beneran batu bata? Kenapa ditata renggang banget gitu ya? 🤔