20. Sang Oportunis

Hari Kelima (5/18)

Oportunis, sebuah istilah yang entah mengandung makna negatif atau sebaliknya. Saya pernah kelaparan di kosan, tabungan habis, uang receh yang terkumpul pun tak mencapai angka 1000, jadinya saya beralasan main ke rumah kenalan, kemudian pulang dengan perut kenyang karena disuruh makan di sana. Apakah itu sikap oportunis? Mungkin. Pernah juga saat jalan-jalan di Bandung, mampir di salah satu pusat oleh-oleh, lalu dengan hati berbunga-bunga mencoba semua penganan tradisional yang tersedia, toh sang pemilik toko cuek-cuek saja. Apakah itu juga sebuah perilaku oportunis? Kemungkinan besar iya.

Entah dari sudut mana kita memandang oportunisme, terkadang sikap ini benar-benar bisa menyelamatkan hidupmu. Atau dalam kasusku, mengenyangkan perut kosong! Kedengarannya memang seperti ‘sang pengambil untung tak tahu malu’, tapi saya dan kenalanku ini sudah seperti keluarga, dan beliau selalu menyuruhku makan tiap kali main ke rumahnya, bahkan saat dompetku lagi tebal-tebalnya. Kejadian di Bandung itu juga berakhir manis: saya membeli keripik tempe, walaupun hanya setengah kilo—itupun masih patungan sama teman. Haha.

***

“Ayo semua berdiri di depan saya”, sahut seorang wanita berumur 40an sambil mengkomando rombongan peserta tur membentuk setengah lingkaran. Kami pun berdiri bersisian mengelilingi meja kayu persegi panjang yang bertata kotak-kotak wadah camilan, botol-botol yang isinya tidak jelas, serta beberapa bungkus produk yang sepertinya berisi kacang-kacangan. Yang paling menarik hati tentu saja beberapa jenis turkish delight warna-warni yang ditaruh dalam boks karton mini, serta sebuah nampan metal besar yang di atasnya terdapat mangkok-mangkok heksagonal kecil berisi manisan serta kacang-kacangan.

“Selamat sore semuanya. Selamat datang di pusat oleh-oleh terbaik Gӧreme” sapanya sembari pasang senyum ramah, sepertinya kami akan kultum soal bahan-bahan makanan, pikirku. “Seperti yang bisa dilihat di atas meja, tiap bahan yang ada di atas nampan ini adalah bahan utama yang memberi cita rasa berbeda pada turkish delight”, lanjutnya, tangannya menyapu udara di atas mangkok-mangkok bersudut penuh warna itu. Dia kemudian meraih salah satu di bagian tengah berisi potongan kecil-kecil warna kelam, lalu mengangkatnya ke udara hingga semua pandangan tertuju pada mangkok kuning tersebut, “Ini adalah biji cokelat yang siap diolah untuk menjadi perasa turkish delight” jelasnya sambil menggerakkan lengannya dari ujung kiri ke ujung kanan, “dan, tentu saja, seperti yang sudah kalian ketahui, Gӧreme terkenal akan turkish delight rasa cokelatnya”. Dia pun mempersilakan kami untuk mencicipi biji cokelat tersebut. Rasanya agak sepat-sepat pahit, tapi aroma khas cokelat yang tercipta bikin kepala macam melayang-senang.

Dia pun melanjutkan presentasi yang sama pada bahan-bahan lain seperti daging buah aprikot, biji aprikot yang mirip kacang almon, kacang almon itu sendiri, daging buah entah apa yang rasanya super manis, serta bahan lainnya yang kubahkan tidak mengerti atau tidak tahu namanya. Walau harus kuakui trik promo ini sangat menarik serta penuh edukasi, saya sejatinya tidak begitu peduli, karena yang penting adalah dengan senang hati kucicipi satu-persatu, beserta sampel turkish delightnya yang lezat itu. Lumayan kan bisa kenyang makan camilan tanpa harus beli, apalagi dikasih teh gratis juga. I am an opportunist!

Ini mungkin hanya perasaanku saja, tapi wanita sang presentator ini suka curi-curi pandang ke arahku. Tiap kali bertemu muka, bisa sampai berdetik-detik. Jadi salah tingkah sayanya. “Malaysia?” sahut wanita itu tiba-tiba, membuatku bingung ditanya mendadak, “Bukan, bukan. Saya dari Indonesia”. Hmm, mungkin wanita ini doyan orang Malaysia. Sambil terus curi-curi pandang ke arahku, akhirnya dia pun tiba pada bagian promosi perawatan kulit wajah, berupa krim yang dibuat dari ekstrak minyak zaitun. “Krim ini sangat cocok untuk kulit kering karena dapat melembabkan” jelasnya sambil menatap jelas ke arahku. Ah, sialan! Ternyata “curi-curi pandang”nya itu karena kulit wajahku yang sudah macam tanah gerontang ini tampak sangat kering dan pecah-pecah. Jadinya promosi langsung tepat sasaran.

Tak ada yang bisa dicicip lagi, saya pun mundur dari kumpulan, lalu berjalan menuju konter perawatan wajah. Walaupun terasa menyakitkan menjadi contoh nyata “kulit kering yang perlu pertolongan”, saya tetap senang karena akhirnya menemukan solusi tepat untuk terhindar dari guratan-guratan perih di pipi dekat hidung akibat kulit yang terlampau kering. Setelah membayar di kasir, saya tidak langsung menuju pintu keluar, melainkan lanjut melihat-lihat berbagai bumbu serta herbal yang dirangkai panjang dan digantung di langit-langit. Dan, tentu saja, tidak lupa berjalan di antara kaleng-kaleng besar berisi kacang-kacangan sambil mencicipi satu-satu.

Tak lama kemudian, satu persatu peserta tur mulai kembali ke van, termasuk saya yang memang sudah naik duluan. Tadi sempat foto-foto di luar bareng Ӧmar sang pemandu kelompok tur satunya—kontras kulit kami tampak bagai siang dan malam—, tapi langsung buru-buru masuk mobil karena ada anjing cokelat aneh berkeliaran dan mengejar tiap orang di sekitarnya. Jujur saja, saya paling malas berurusan dengan hewan satu itu. Setelah tiap bangku ditempati para empunya, supir langsung tancap gas menuju perhentian terakhir yang dijanjikan pemandu tur jika waktu masih cukup.

Saya mengenali jalan yang sedang kami lewati karena kemarin saat memasuki Gӧreme, bus melewati jalur yang sama. Pertokoan dan/atau perkantoran yang tampak kosong, lahan kering berhias bunga merah jambu aprikot, bukit-bukit kecil bebatuan yang digerus angin, hingga akhirnya laju van berangsur-angsur memelan dan berhenti tepat di depan sebuah bangunan berukuran sedang dengan bentuk balok panjang membosankan. Yang menarik justru pemandangan di seberang jalan berupa bukit batu penuh gedung hotel yang kesemuanya memiliki jendela berbentuk seragam: persegi panjang dengan pantulan warna biru langit di permukaan kacanya.

Untuk mengejar waktu, kami segera digiring menuruni tangga menuju ruang bawah tanah yang ternyata adalah pabrik kecil tempat memahat batu mulia. Dengan konsep yang sama seperti di pusat jajanan tadi, sang presentator mulai mengenalkan tiap-tiap alat di ruangan, berikut penjelasan mengenai fungsinya. Di belakangnya ada aktor figuran bapak-bapak yang tugasnya mempraktekkan apa yang dikatakan sang presentator, mulai dari saat batu kotak diukir hingga berbentuk telur beserta dudukannya, dipernis lagi menggunakan alat tertentu hingga sisi batu mengilap bagai marmer. “Wow!!” seru seorang perempuan dari grup tur. “Ini buatmu” kata sang presentator dengan senyum lebar. APAH?! Dia dikasih batu keren itu hanya bermodal seruan ‘WOW’?! Saya jadi menyesal tidak melakukan hal yang sama.

Setelah presentasi yang penuh dengan suara-suara mengilukan akan batu yang digosok+dikikir, kami akhirnya dibawa menuju galeri di ruang utama. Ini kali pertama saya hadir di ruangan penuh perhiasan mahal. Semua tampak bling-bling dan bercahaya; bahkan mata para pengunjung pun jadi ikutan berbinar-binar. Rasanya seperti memasuki istana Sinbad yang penuh emas dan berlian setelah melewati lorong gelap di balik batu. Kotak-kotak kaca berisi pajangan cincin dan kalung bernilai ribuan Lira terlihat sangat mewah, sampai-sampai saya takut menyentuh kacanya. Tahu-tahu pas tersenggol, alaram bunyi dan saya pun ditendang keluar galeri. Di tengah ruangan, tempat seorang wanita berdiri di ruang kecil antara dua kotak kaca, tangannya memegang sebuah cincin bertahtakan  berlian biru. Saat dia menepuk tangan yang merupakan isyarat untuk mematikan beberapa lampu, tiba-tiba berlian tersebut berubah warna menjadi hijau. “WOOOWW!!” teriakku sekencangnya, dan dengan ekspresi yang (diusahakan) nyata. Well, tentu saja cincin itu tidak pernah diberikan cuma-cuma padaku hanya dengan modal seruan itu.

Karena alasan harga selangit dan mau berhemat ria, para peserta tur mulai meninggalkan galeri secepat datangnya—Istri si Om Swedia tadi sempat tanya-tanya harga kalung yang mau dibelikan untuk putrinya, tapi sepertinya tidak jadi sebab harga terlampau tinggi. Setelah memastikan semua peserta berkumpul, mobil langsung tancap gas menuju Gӧreme. Sepanjang perjalanan Om Swedia bercerita tentang tur merah yang kemarin diambilnya bersama keluarga. Katanya mereka berjalan melewati ngarai dan lembah untuk melihat formasi bebatuan. Tangannya pun menunjuk ke arah dimana mereka melakukan tur tersebut. Wah, kalau saya sih cukup dengan melihat dari langit saja saat tur balon udara pagi tadi. Itu sudah sangat memuaskan. Tidak perlu kontak fisik dengan lokasinya langsung.

Sekembalinya di Gӧreme, saya menjadi orang pertama yang keluar dari grup jalan-jalan ini. Tidak di penginapan, tapi saya minta diturunkan di masjid dekat ottogar. Setelah berterima kasih pada sang pemandu dan supir, serta mengucap salam perpisahan pada peserta lainnya, saya langsung berjalan menuju tempat mengambil wudhu, lalu ke ruang utama masjid. Seusai shalat, saya tidur-tiduran sejenak di atas karpet yang empuk, meluruskan badan yang lelahnya baru terasa sekarang. Tidak lama saya beristirahat di situ karena jarum jam sudah menunjuk angka 5. Saya sudah harus mengambil ransel di hotel dan langsung ke ottogar untuk mengejar bus jam 7 malam nanti.

Sesampainya di penginapan, saya langsung memasuki ruangan hall yang hangat serta beraroma kayu bakar, tempatku menitip ransel. Sang ibu-ibu penjaga—yang selalu tampak sibuk, entah apa yang dikerjakan— membuatkan saya teh hangat karena mobil yang akan membawaku menuju ottogar belum datang. Cukup lama saya menunggu, hingga akhirnya seorang pria bermuka jutek menyapaku dan memintaku untuk ikut dengannya—mungkin dia adik sang pengurus penginapan yang kutemui kemarin, wajah mereka terlihat mirip. Saya sebenarnya tidak mengerti tiap perkataannya, karena bahasa yang dia gunakan entah bahasa Turki atau daerah. Saya hanya menangkap maksud dari gerakan kepalanya yang menoleh ke arah mobil yang diparkir di ambang pintu gerbang penginapan.

Saat tiba di ottogar, orang-orang sudah ramai berkumpul menunggu bus. Lelaki jutek ini menolongku mengeluarkan ransel, menutup pintu mobil, dan langsung melajukan mobilnya kembali ke penginapan. Tentu saja saya berterima kasih padanya, walau hanya disambut ekspresi datar. Well, saya yakin dia orang baik, tapi terkadang ada segelintir manusia di dunia ini yang tidak tahu bagaimana harus bereaksi saat diucapkan kalimat sesederhana ”terima kasih”. Setelah memanggul ransel, saya pun menyeret langkah menuju kantor operator bus yang akan kugunakan, memastikan waktu keberangkatan, membeli beberapa makanan ringan dan air kemasan di toko, lalu duduk di bangku tanpa sandaran tepat di tepi jalan.

Langit kian menggelap seraya hari bertambah tua. Dalam diam, saya memandang berbagai kendaraan yang lewat; taksi, van, bus, silih berganti menggilas jalan berpaving dengan bannya yang terkadang berdecit. Entah saya yang terlalu lelah, dan/atau mata saya yang mulai sayu, suasana jadi terasa lambat. Tiap gerakan, sekecil apapun itu, seperti memelan dengan sendirinya. Hanya perasaanku? atau, saya yang berharap demikian?

Saya selalu benci sensasi yang muncul tiap kali akan meninggalkan suatu tempat; saat rasanya baru saja mulai menikmati, tapi sudah harus pergi. Bukan karena keindahan yang memang selalu muncul di depan mata: ngarai dan lembah misterius yang memikat, kelopak bunga aprikot yang cantik, serta padang rumput dan sungai dengan air sebening kristal itu. Melainkan berkat kebaikan yang selalu muncul tiba-tiba, dan tak terduga, walau itu hanya berupa seduhan teh hangat wanita penjaga hall penginapan, hingga cahaya lampu warna-warni dari papan nama toko yang berpendar di gelapnya malam—yang kuanggap sebuah hadiah kecil, salam perpisahan sebelum saya mengangkat kaki menuju destinasi berikutnya.

Badan bus biru yang besar tiba-tiba saja berhenti di depanku, membuatku terkesiap dari lamunan. Sang pramugara yang sigap segera melompat turun, dan langsung membuka pintu tingkap bagasi. Saya dan para penumpang begerak cepat menuju sang pramugara untuk memastikan tujuan bus sesuai tiket, menaruh ransel di bagasi, lalu menaiki kendaraan mencari tempat duduk sesuai nomor.

Saat menatap keluar melalui jendela dari kursiku yang tidak begitu nyaman, kantor informasi turis di seberang jalan tampak berbeda kala malam. Namun hangatnya ruangan penuh peta itu tetap ada dan terasa, layaknya siang kemarin saat kupertama kali tiba di kota ini . Mungkin begitu lah cara kebaikan bekerja: dimana pun itu, di sini, di sana, siang atau pun malam, kebaikan tetap hadir. Tak hanya di tempat ini, tapi di kota selanjutnya. Dan selanjutnya.

Dan selanjutnya.

2 responses to “20. Sang Oportunis

  1. Hello, Perkenalkan saya Handy 😀
    kebetulan aku sedang mencari informasi tentang Jayapura dan menemukan blog ini, rasanya seru banget dengan cerita yang ditulis mengenai Jayapura. Kalau tidak keberatan boleh saya minta kontak personal untuk sharing pengalaman nya ?
    Terima kasih sebelumnya 🙂

Yang dah nyasar kesini, jangan lupa tinggalkan jejak ;-)

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s