Hari Ketujuh (7/18)
“Şirince?”
Nama sebuah desa Ortodoks tua.
“Şirince?”
Bertengger jauh di puncak pegunungan.
“Maaf, apakah mobil ini akan pergi ke ŞİRİNCE?”
Tanyaku untuk yang ketiga kalinya pada seorang pria yang tengah duduk di bangku paling belakang minibus. Sebenarnya petugas otogar sudah memberitahuku kalau kendaraan ini memang akan ke desa tersebut, dan tulisan “SELҪUK ŞİRİNCE” yang tertera di bodi belakang mobil ikut menguatkan info tersebut, tapi saya hanya ingin memastikan saja. Pria itu mengangkat mukanya, berkata “iya”, kemudian kembali tenggelam ke layar hape—sungguh saya tidak mengharapkan respon yang lebih baik dari itu untuk pertanyaan ‘tidak penting’ ini. “Teşekkür ederim” kataku, lalu mengambil tempat di bangku belakang supir.
Saat tengah memposisikan diri senyaman mungkin, saya tiba-tiba mendengar sepenggal nada yang sudah akrab sekali di telinga. Nada ini sefamiliar ringtone khas Nokia, juga seakrab melodi yang muncul saat memenangkan pertarungan melawan monster di gim favorit-sepanjang-masaku ‘Final Fantasy IX’. Pantas saja pria itu tampak ogah-ogahan menjawab pertanyaanku tadi. Ternyata dia sedang fokus bermain Clash of Clans yang memang lagi tenar-tenarnya. Saya sangat hafal nada jeng-jeng-jeng-jeng itu bukan karena terlalu terobsesi dengan gim tersebut, melainkan salah seorang sahabatku yang sangat tidak bisa lepas dari kegiatan membangun benteng, menyerang, dan mengeluh hartanya dicuri setiap kali kami sedang nongkrong. Kurasa hal yang sama sedang dilakukan oleh pria ini.
Butuh waktu cukup lama hingga minibus terisi lebih banyak penumpang. Itupun tidak semua bangku terpenuhi saat supir memutuskan untuk berangkat—yang bagiku adalah suatu keuntungan tersendiri karena tidak perlu sempit-sempitan. Kondisi lalu lintas kota ini juga sangat lancar-mancar. Nyaris hanya lima menit kami habiskan melewati rumah-rumah dan pertokoan sebelum akhinya dikepung oleh hijaunya ladang warga sejauh mata memandang. Seiring jalan yang kian menanjak, tiba-tiba saja di sisi kanan kami terhampar lembah penuh perkebunan yang cukup dalam. Rimbunan pohon zaitun dengan daunnya yang kurus dan berwarna hijau-kelabu berdiri melambai-lambai memagari kedua tepi jalan. Sesekali kami berpapasan dengan minibus lain yang melaju tak kalah kencang di jalan meliuk-liuk ini.
Kendaraan akhirnya berhenti total setelah memasuki kawasan pedesaan, tepatnya di depan sebuah restoran sederhana dengan jendela berkusen kayu yang dicat warna hijau teduh. Jalan sudah tak lagi beraspal, diganti blok-blok batu persegi yang disusun dengan pola lekuk khas bangsa Eropa. Tampak rumah-rumah berbentuk balok tersusun indah di sisi bukit, berdampingan satu dengan lainnya dalam posisi yang rapih seperti potongan-potongan lego yang diatur sedemikan rupa. Tiap bangunan memiliki jendela persegi panjang tegak dengan jumlah maksimal enam di dinding bagian depan. Hampir seluruhnya bergaya identik, dengan cat berwarna seragam, bentuk atap yang serupa, serta menghadap ke arah yang sama. Muncul kesan bahwa rumah-rumah itu bagaikan jamur: timbul begitu saja dari celah-celah bebatuan secara serempak, tumbuh dan berkembang, mengambil bentuk rumah, dan tiba-tiba saja sudah menjadi desa yang mempesona.
Karena berada di wilayah pegunungan, suhu di desa ini tentu saja lebih dingin dibandingkan di kota. Sweater cokelat tipisku sebenarnya tidak begitu signifikan membantu, tapi setidaknya ada sedikit penghalang hawa dingin. Saya pun segera berjalan meninggalkan titik pemberhentian minibus karena berlama-lama berdiri malah bikin tangan gemetaran. Saat memasuki jalan utama desa yang lurus, kanan kiri saya terpampang barang-barang dagangan berbagai macam rupa: mulai dari gantungan kunci, tas-tas, patung-patung, lukisan-lukisan, gelas-gelas, miniatur-miniatur, juga rempah-rempah lokal. Di antara pertokoan itu juga terselip kafe dan restoran kecil, serta kedai anggur yang penuh dengan botol dan gentong kayu besar. Sungguh pemandangan khas desa wisata.
Tepat di ujung jalan yang terbagi lagi ke dua arah berbeda terdapat sebuah masjid. Keseluruhan dinding dicat putih, dengan bentuk atap seperti rumah-rumah lainnya, bukannya berupa kubah. Kalau saja tidak berdiri minaret dengan ornamen bulan sabit di ujung puncaknya, mungkin saya tidak akan menyadari kalau bangunan tersebut adalah rumah ibadah. Dan persis di seberang masjid tersebut terdapat sebuah gerobak es krim yang lain daripada yang lain. Warnanya merah terang dengan sedikit corak khas Turki dilukis di fasad. Seutas rantai yang dikaiti banyak lonceng kecil digantung regang di kedua ujung atap gerobak, menciptakan bentuk melengkung ke bawah tepat di bagian tengahnya. Dan yang paling membuatnya unik adalah empat roda yang dipasang di tiang penyangga atap, bukannya dijadikan pijakan gerobak.
“Halo,” sapa sang penjual, lebih tepatnya seorang lelaki ramah dengan sepasang alis hitam tebal, berkemeja biru muda yang dilapisi baju lengan pendek tradisional bermotif etnik, berompi merah marun dengan tepi berpayet benang emas yang senada dengan celananya, serta berpeci merah yang diikat lagi dengan selendang kecil berwarna biru terang dan oranye. Sungguh dia pria dengan busana tradisional paling ngejreng dan paling keren yang pernah kulihat. “Es krim?” tanyanya kemudian. Tentu saja pertanyaan ini adalah sebuah bentuk penawaran terhadapku akan kudapan yang dijajahkannya. Tapi bagiku terdengar lebih seperti sebuah retorika—setelah semua ulasan tentang es krim Turki di siaran program jalan-jalan di TV dan artikel di blog yang membuatku hanya bisa membayangkan suatu saat nanti saya pun dapat menikmatinya—tentu saja di detik ini juga tidak ada yang lebih kuinginkan daripada menonton langsung aksi fenomenal “tipu-tipu” sang penjual es krim saat menyendok dan menaruhnya di kerupuk corong, serta merasakan senyata-nyatanya rasa dan struktur es krimnya yang katanya beda dan eksotis. “Ya, tentu saja” jawabku akhirnya, sangat antusias.
Sang penjual pun mengambil sebuah kerupuk corong yang disusun bertumpuk di sampingnya, serta sebuah sendok besi bergagang panjang khusus untuk ‘menyekop’. Tangannya kemudian sigap membuka semua tutup wadah es krim di depannya karena saya minta semua rasa ditumpuk jadi satu. Terlalu agresif sebenarnya permintaanku, tapi saya tidak mau kehilangan momen indah makan es krim Turki di sebuah desa eksotis nan mempesona di puncak gunung Provinsi Izmir. Dia pun memulainya dengan rasa vanila untuk tumpukan terbawah. Sambil menyendok, dia berbincang denganku. Saya sebenarnya tidak begitu mengerti perkataannya karena dia memiliki aksen yang kental. Jadinya saya hanya bisa membalas dengan anggukan dan tawa kecil.
Kerupuk corong yang sudah terisi es krim putih lengket ternyata menempel di ujung sendok, yang kemudian disodorkannya kepadaku. Perasaan tadi saya mintanya semua rasa, tapi kenapa ini sudah dikasih, padahal baru vanila, pikirku. Mungkin dia tidak mengerti kata-kataku tadi. Digeluti rasa kecewa, saya pun meraih ujung corong, tapi tiba-tiba saja dia menariknya dengan cepat. Ternyata ada dua lapis corong, karena salah satunya masih terpegang olehku. Saya yang tadinya kaget, langsung tertawa kegirangan. Begitupun sang penjual. Padahal saya harusnya sudah tahu ini akan menjadi bagian dari atraksi. Tapi, tetap saja, sensasi ‘masih tekejut’ akan sesuatu yang sudah kita duga sebelumnya memberikan kesan dan kebahagiaan tersendiri. Aksi ‘tipu-tipu’ ini terus berlanjut, sampai semua rasa sudah bertumpuk, dibaluri lelehan cokelat, lalu ditaburi kacang pistasio. Dan saat akhirnya potongan es krim yang lengket, padat, serta dingin itu mendarat di lidahku, hmmm, dengan percaya diri kutakatakan bahwa saya adalah orang paling bahagia di muka bumi ini.