9. Kubah, Pilar, Menara

Hari Ketiga (3/18)

Saat masih SMA dulu, saat masih zaman-zaman labil tanpa pendirian tetap, saya paling malas yang namanya shalat Jumat. Mungkin ini aib terbesar seorang pria yang tidak mungkin diceritakan pada sahabat terdekat sekalipun. Sangat memalukan. Dan sebisa mungkin berbohong saja kalau ditanya shalat atau tidak. Hampir tiap Jumat saya lewati dengan bersembunyi dalam rumah, yang penting tidak ada orang yang lihat. Pernah sekali saya sampai ditarik-tarik sambil dinasehati oleh saudara yang peduli dengan dosaku, tapi saya keukeuh malas ke masjid. Saat itu sebenarya bukan karena benar-benar tidak mau, tapi saya sudah kudung malu, takut dilihat tetangga lain dengan pandangan menuduh mereka “ini setan kok tiba-tiba dapat hidayah mau ke masjid?”. Dan bodohnya saya memilih tetap menjadi setan. Setidaknya teman-teman di sekolah tidak tahu, pikirku.

Saya baru mulai sadar saat pindah kuliah di Bogor. Saat itu saya pikir, orang-orang di sana tidak mengenalku. Jadi tidak akan ada pandangan menohok itu kala melangkah ke masjid nanti. Jadi lah tiap
Continue reading

8. Ayo Berpesta!

Hari Kedua (2/18)

Faun—makhluk imajinatif aneh bin ajaib. Dari pinggang ke bawah berwujud kaki kambing plus bulu-bulunya yang kecokelatan. Sedang bagian ke atas nyaris normal manusia biasa dengan tambahan janggut panjang, telinga runcing, serta sepasang tanduk. Pertama kali melihatnya muncul di film Narnia dan Lemari Ajaib, dimana setelah Lucy berhasil berteleportasi ke “dunia lain” tersebut, ia langsung bertemu dengan Faun. Makhluk jadi-jadian tersebut sedang dalam perjalanan pulang melewati tumpukkan salju. Cara berjalannya aneh, seperti orang sakit pinggang. Lucy yang awalnya takjub, langsung jatuh sayang padanya. Mereka pun berteman dan merayakannya dengan pesta minum teh di kediaman Faun.

Untuk saat ini sepertinya saya punya dua kesaaman dengan Faun; pertama, Continue reading

6. Frostbite

Hari Kedua (2/18)

Beberapa tahun lalu saat masih kuliah, saya sering kali mengunjungi Gramedia di Botany Square, Bogor—tempat menyenangkan untuk menghabiskan malam. Kayaknya yang kerja di sana sudah hafal tampangku, secara hampir 4 kali seminggu rutin ke sana. Dan saya selalu menuju koridor yang sama; komik. Ini sebenarnya agak memalukan, tapi jujur saja, komik yang saya baca adalah Doraemon. Tiap seri yang ada di situ telah saya lahap semua ceritanya, padahal (lebih memalukan lagi) beli satu pun tidak. Dari sekian banyak yang dibaca, ada satu fragmen cerita yang tiba-tiba muncul di pikiranku saat ini; kala Nobita dkk bertandang ke planet setan. Di sana mereka harus melewati semacam daerah kutub. Untuk melawan suhu ekstrim, Doraemon mengeluarkan krim adaptasi yang dapat membuat pemakainya mampu menyesuaikan suhu tubuh dengan lingkungan. Dengan kata lain, semakin dingin hawa, semakin hangat mereka. Seandainya krim itu benar-benar ada dan dijual bebas dipasaran¸ ratapku.

Ini kedua kalinya saya berfantasi tentang kartun menjadi kenyataan—mungkin bukan sengatan panas matahari saja yang bisa bikin orang Continue reading

4. keDINGINan

Prapemberitahuan:

Perjalanan ini sejatinya dilakukan oleh dua orang pelancong, yaitu saya dan teman. Namun, dengan alasan tertentu, kami sepakat untuk tidak memasukkan satupun hal mengenai teman saya dalam jurnal perjalanan kali ini. Karena itu lah, cerita ini saya susun seakan-akan hanya saya seorang yang menjalaninya, dengan tanpa mengurangi atau melebihkan esensinya, walaupun ada perubahan dari sisi penokohan. Semoga pembaca menikmati.

(Hari Pertama: 1/18)

Saya sedang berada di atas bus, di tempat yang sama tepat di belakang supir. Orang-orang yang duduk di bangku lainnya pun entah kenapa juga orang yang sama. Muka mereka seperti berbayang, tapi jelas saya masih mengenali wajah-wajah itu. Déjà vu? Sang supir tiba-tiba membanting setir memasui jalan raya, dan di sana lah ranselku, masih tertinggal di samping kursi pengemudi, mulai bergoyang tak seimbang. Tak mau kejadian memalukan itu Continue reading

3. Sambutan (Terlampau) Hangat

Prapemberitahuan: Perjalanan ini sejatinya dilakukan oleh dua orang pelancong, yaitu saya dan teman. Namun, dengan alasan tertentu, kami sepakat untuk tidak memasukkan satupun hal mengenai teman saya dalam jurnal perjalanan kali ini. Karena itu lah, cerita ini saya susun seakan-akan hanya saya seorang yang menjalaninya, dengan tanpa mengurangi atau melebihkan esensinya, walaupun ada perubahan dari sisi penokohan. Semoga pembaca menikmati.

 (Hari Pertama: 1/18)

Saya bukan lah pelancong ulung yang sudah keliling di lebih dari 100 negara, juga bukan petualang handal yang keluar masuk hutan berbekal parang panjang. Saya hanya lah seorang penikmat jalan-jalan tanpa peduli mengusung embel-embel backpacker, hitchpacker, apapun itu istilahnya. Saya adalah seorang pelancong. Tak lebih. Karena bagiku melancong bukan hanya wadah untuk membuktikan siapa Continue reading

1. Hei, Aku Datang!

Prapemberitahuan: Perjalanan ini sejatinya dilakukan oleh dua orang pelancong, yaitu saya dan teman. Namun, dengan alasan tertentu, kami sepakat untuk tidak memasukkan satupun hal mengenai teman saya dalam jurnal perjalanan kali ini. Karena itu lah, cerita ini saya susun seakan-akan hanya saya seorang yang menjalaninya, dengan tanpa mengurangi atau melebihkan esensinya, walaupun ada perubahan dari sisi penokohan. Semoga pembaca menikmati.

(Hari Pertama: 1/18)

Saya selalu memiliki dua perasaan yang saling berkontradiksi tiap kali pesawat hendak mendarat: Senang dan jengkel. Agak aneh memang, tapi memang itu lah yang selalu terjadi. Perasaan pertama, tentu saja, muncul karena tujuan sudah di depan mata. Tidak ada yang lebih menggembirakan seorang penumpang pesawat daripada Continue reading