18. No Pain No Lunch

Hari kelima (5/18)

“Jangan bilang sudah ke Papua kalau belum pernah menginjakkan kaki di Wamena”, begitu kata muridku, entah satu atau dua tahun yang lalu. Tak tahu darimana dia mendapatkan kalimat yang terasa mengejek itu, terutama untukku yang memang belum pernah menghirup segarnya udara pegunungan di Wamena. Saya punya beberapa alasan tersendiri kenapa sampai saat ini paling ogah naik ke daerah eksotik itu: 1. Penerbangan ke Wamena selalu menggunakan pesawat yang tidak terlalu besar, dan itu cukup menakutkan bagi seorang penderita akrofobia; 2. Buat apa juga jauh-jauh ke Wamena hanya untuk membuktikan saya sudah pernah ke Papua, toh saya asli kelahiran Jayapura.

Sebenarnya kenyataan ini cukup menyebalkan juga, karena 90% kenalanku, baik kelahiran Jayapura maupun pendatang, pasti sudah menikmati dinginnya wilayah pegunungan Papua, entah itu Wamena, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Oksibil, atau nama-nama lainnya yang sulit diucap. “Serius belum pernah naik ke Wamena? Pace ko rugi sekali! Di atas bagus baru!”, begitu kira-kira komentar mereka saat mengetahui bahwa saya belum pernah melakukan perjalanan yang sama, dan foto-foto bersama sekeluarga besar suku Dani pun dipamerkan untuk membuatku makin merasa rugi.

Walaupun cerita-cerita mereka akan petualangan menantang di puncak sana mengalir penuh adrenalin, ada satu hal unik yang cukup menggelitik: tak satu pun dari mereka yang ke Wamena memiliki niat lain selain mengemban tugas dinas. Saya sama sekali tak meragukan jiwa petualang mereka, tapi justru atraksi utama dari pegunungan Papua itu sendiri sepertinya luput dari perhatian mereka. Atau mungkin memang tidak pernah jadi misi utama: si Puncak Cartenz. Untukku pribadi, jangankan berharap, punya mimpi bisa lihat satu-satunya puncak bersalju di Indonesia itu saja tidak. Selain karena dua alasan yang sudah disebutkan sebelumnya, saya juga adalah orang yang paling anti mendaki gunung.

Tapi entah kenapa, sepertinya alam masih cukup baik terhadapku. Karena tanpa harus naik pesawat baling-baling mengerikan itu, dan tentu saja kegiatan mendaki yang penuh keringat dan napas ngos-ngosan, saya telah disajikan gunung-gunung berselimut salju yang berdiri kokoh mengelilingi kaki langit di kejauhan. Pemandangan penuh warna biru dan putih ini sangat mencolok melatarbelakangi perbukitan hijau yang berundak-undak. Saya bahkan harus memastikan diri bahwa apa yang kupandang ini adalah kenyataan, bukan kanvas raksasa yang dilukis seniman paling realistis.

“Ayo semua kita jalan bersama” teriak sang pemandu tur pada seluruh peserta. Pria itu kemudian berjalan memimpin rombongan, diikuti oleh belasan derap langkah di belakangnya seperti anak ayam membuntuti induk. Saya sendiri memilih menjadi peserta badung, dengan tetap berdiri di sisi jalan menatap pemandangan fantastis di kejauhan. Sebagian peserta merupakan pelancong asal Eropa, dan gunung berpuncak salju bukan lah hal baru bagi mereka. Tapi bagiku yang cuma bisa lihat beginian di film The Lord of The Ring, adalah sesuatu yang harus dipandang sampai mata keseleo.

“Bisa tolong memotretku” pintaku pada seorang peserta tur perempuan asal Brazil. Rambutnya yang keriting seksi diikat ke belakang, tampak bergoyang-goyang saat tertiup angin. Dia juga sepertinya berniat masuk grup peserta badung; tak mengindahkan rombongan yang sudah lumayan jauh di depan meninggalkan kami. “Terima kasih” ucapku seusai beberapa gambar telah diambil. Dia kemudian mengembalikan kameraku, lalu berjalan perlahan sambil memotret menggunakan kameranya sendiri. Setelah mengecek hasil fotonya yang lumayan oke, saya pun mengikuti jejaknya.

Tur jalan kaki; tur yang (sedang kami lakoni ini) terdengar hampir tidak masuk akal. Sudah bayar, disuruh ukur jalan lagi—begitu kata orang Jayapura. “Kita akan berjalan kaki menyusuri desa, ngarai, lembah dan sungai, sampai di tujuan akhir tempat makan siang kita telah menunggu” jelas sang pemandu tur di mobil tadi. Bukan apa-apa sebenarnya, saya hanya sedikit was-was pinggangku kumat lagi, mengingat tragedi di Princes’ Island yang sukses bikinku berjalan seperti seekor Faun. Tapi setelah dipikir-pikir, sejak saat itu kan saya sudah berjalan belasan kilometer, dan kemungkinan besar pinggangku sudah lumayan tahan banting. Semoga saja.

Tapi memang walau judulnya jalan kaki, sepertinya jalur yang dipilih tidak sembarangan. Karena dari awal kami melangkah di cabang jalan di atas sana, pemandangan sekitar telihat dahsyat dan mempesona. Bagaimana tidak, selain pegunungan salju yang membiru di cakrawala, bukit-bukit mirip rumahnya Teletubies juga tampak indah sekali; ditumbuhi rerumputan hijau berbunga kuning mungil, berdampingan dengan bebatuan cokelat berbagai ukuran. Rasanya seperti menonton salah satu potongan program dokumenter National Geographic tentang alam liar di pelosok Turki!

Di tengah perjalanan, kembali saya bertemu jalan cabang memasuki jalur berkelok-kelok yang tersusun dari ribuan paving. Trek ini mengarah pada ngarai bukit raksasa yang tampak bagai tembok penghalang. Entah apa yang disembunyikan di baliknya. Di tepi tebing menjulang pepohonan kering yang tumbuh baris-berbaris; mungkin sudah sekarat atau hanya sedang dalam mode hemat air, makanya daun-daun dirontokkan. Semakin mendekati ngarai, semakin jelas pula alur jurang serta lekukan-cekungan tebing yang berbayang. Saya segera keluar dari badan jalan memasuki area terbuka yang berumput tebal agar mendapat pemandangan yang lebih luas. Tak tahu apa kata yang tepat untuk menggambarkan keindahan ini. Saya hanya bisa mendesah saking terpesona.

“Saya bisa memotretmu kalau kamu mau”, sapa seseorang dari belakang, membuatku sigap membalik badan. Seorang pria jangkung, kira-kira 7 senti lebih tinggi, berdiri menghadapku. Senyum tipis tergurat di wajahnya, membuatku sadar bahwa dia mungkin kasihan melihatku yang sejak tadi repot berswafoto memakai kamera DSLR. “Tentu saja”, sahutku, diikuti senyum yang mengembang. Kenyataan ini membuatku makin yakin bahwa sesama peserta badung memang saling mengerti kebutuhan masing-masing. Kenyataan lainnya: saya pikir saya lah peserta paling tertinggal di belakang, tapi rupanya masih ada beliau.

Sebagai balas jasa, saya kemudian menawarkan diri untuk mengambil gambarnya juga, tapi beliau menolak. Tidak suka difoto katanya. Kami pun melangkah bersama kembali ke jalan. Ternyata pria asal Swedia ini adalah seorang fotografer profesional, spesialis alam. Beliau pun telah berkeliling dunia, hingga ke Bali. Dan kali ini, beliau memboyong serta keluarganya yang, layaknya peserta penurut lainnya, telah meninggalkan kami jauh di depan. Sesekali beliau berhenti melangkah untuk memotret, bahkan sampai mendaki jejeran batu besar di sisi jalan, kemudian memposisikan badan sedemikian rupa demi mendapat sudut yang pas.

Di belokan terakhir, sudah tampak rerumahan warga desa yang berdiri saling berjauhan. Bahkan salah satunya benar-benar diukir dari tebing batu. Seketika kami sadar rombongan peserta sudah tak tampak lagi, bahkan di ujung jalan terjauh sekalipun. Hanya terlihat seorang pria tambun berdiri di tengah jalan. Pandangannya tertuju pada kami, dengan salah satu tangan melambai-lambai. Rupanya kami sudah sangat tertinggal dan dia sengaja menunggu agar kami tidak tersasar. Saya dan Om Swedia pun berlari-lari kecil ke arahnya. “Ayo cepat. Lewat sana. Rombongan lain sudah jauh di depan” katanya, sambil mengarahkan kami menuju jalan kecil tepat di samping sebuah rumah batu.

Jalan mulai menyempit dan tampak lebih alami dengan bebatuan yang dikikis untuk memberi ruang bagi pejalan kaki. Sepertinya jalur ini juga merupakan jalur utama bagi warga setempat, terlihat dari ratanya landasan batu karena telah dipijak berpuluh-puluh tahun. Dan dari sini, jurang yang terlihat curam dari atas sana ternyata tidak terlalu terjal. Tampak di lembah petak-petak lahan warga yang mungkin digunakan sebagai ladang, dibatasi oleh bebatuan yang disusun menyerupai talut. Belum ada apapun yang ditanam, hanya rerumputan liar yang menjajah tanah. Sedang di titik terjauh berdiri kaku rimbunan ranting kering dari pohon meranggas.

Mendekati dasar lembah, telingaku mulai menangkap bunyi gemericik air. Terdengar seperti gerimis yang teredam, namun lebih lembut dan berirama. Setelah melewati belokan ke arah kiri, muncul lah aliran deras sungai dari balik batang pepohonan. Warna airnya keruh, tapi tetap tersirat kesegaran. Sinar mentari yang cemerlang terpantul berkilauan di permukaan air. Rumput hijau serta pohon gersang dengan cabang panjang melambai-lambai memagari sungai. Kalau saja tiba-tiba keluar tujuh kurcaci sambil bernyanyi dan berdendang, pasti akan tampak sangat masuk akal karena pemandangan ini benar-benar seperti negeri dongeng ala Disney.

Kami melewati salah satu ladang yang sedang digarap oleh beberapa petani lokal. Di balik wajah mereka yang tampak lelah, masih tergaris senyuman saat bertemu pandang dengan kami. Entah apa yang mereka tanam, mungkin ketimun. Yang pasti dengan kondisi lingkungan seajaib ini bisa saja besok pagi ketimunnya tahu-tahu sudah berbuah ratusan, dan siap untuk dijual di pasar. Sang pemandu tur terus memimpin rombongan, melewati beberapa bongkahan batu raksasa, hingga akhirnya kembali bertemu perumahan warga desa. Dan tepat di ujung jalan tampak sebuah pondok kayu besar berdiri tepat di sisi sungai.

Kumpulan peserta dari tur berbeda yang sampai duluan tampak sedang menikmati makan siang di udara terbuka, sedang rombongan kami langsung dipandu memasuki pondok. Terdapat tiga meja makan panjang yang dapat menampung hampir 20 orang sekaligus. Saya mengambil tempat di sudut paling belakang, biar dekat dengan jendela. “Tersedia dua menu untuk makan siang: nasi daging dan nasi ikan. Ada juga menu khusus vegetarian. Bagi yang memesan minum, akan dikenai biaya tambahan” kata seorang pelayan yang kemudian bergerak gesit mencatat pesanan. Untuk alasan lebih mengenyangkan, saya pun memilih lauk daging, dan tidak pesan minuman karena sudah bawa air dari penginapan.

Dari ujung meja terdepan roti serta salad sayuran mulai dibagikan sebagai makanan pembuka, diover sesama peserta hingga ke mejaku. Beberapa menit kemudian, sang pelayan kembali lagi sambil membawa pesanan di masing-masing tangannya. Makan siang yang sekarang duduk manis di depanku wujudnya seperti nasi goreng; rasionya hampir setengah-setengah dengan daging yang tampilannya langsung bikin mulutku berair. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menghabiskan; bukan hanya karena porsinya sedikit, tapi berjalan kaki menuruni lembah dan menyusuri sungai sudah cukup menguras tenaga dan ,tentu saja, melaparkan.

Sambil melahap sisa roti dan salad, saya ajak ngobrol teman semeja yang adalah gadis-gadis cantik bermata sipit. Awalnya saya mengira mereka asal Mongolia, karena muka ketiganya mirip pemain alat musik tradisional asal negara tersebut yang semalam tampil di TV nasional Turki. Tapi ternyata mereka asli Shanghai, Tiongkok, dan sekarang sedang kuliah di London. Udah cantik, pintar lagi, pikirku sambil senyam-senyum sendiri. Ketiganya saat ini berada di Turki untuk menghabiskan liburan semester.

Saat perserta lain membubarkan diri dari meja makan, saya pun berjalan keluar dan menarik napas dalam-dalam untuk menetralisir aroma makanan yang lumayan menyengat di dalam pondok. Saya sengaja berdiri bersandar di pagar kayu, tepat di dekat dengan mobil jemputan. Dari sini tampak ketiga cewek Tiongkok tersebut sedang berjalan sambil cekikikan. Saya harus berfoto dengan mereka, ideku muncul begitu saja. Tiba-tiba ada wanita bule datang menghampiri temannya tak jauh dariku. Raut wajahnya masam, dan dapat kudengar jelas kata-kata yang keluar dari mulutnya, “tadi saat saya hendak memasuki toilet tepat setelah dipakai salah seorang cewek itu (matanya sedikit melirik ke arah tiga bidadariku), ternyata dia tidak menyiram! Dasar jorok!”.

Oh Tuhan! Kenapa tiap kali bertemu turis Tiongkok, hampir tidak pernah berakhir dengan indah!

4 responses to “18. No Pain No Lunch

Yang dah nyasar kesini, jangan lupa tinggalkan jejak ;-)

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s