17. Tetap Tersembunyi

Hari Kelima (5/18)

Berada di ketinggian memang tidak pernah menyenangkan. Selain menakutkan, udara yang super duper menggigilkan juga sangat menyiksa. Apalagi tur balon udara tadi mulainya pas pagi buta, saat hawa dingin masih dalam kondisi prima. Jadi lah saat tiba kembali di penginapan, saya langsung menghambur ke kamar mandi dan berada selama mungkin di bawah pancuran air hangat. Saya menyesal tidak melapis baju banyak-banyak tadi, padahal menurut pengakuan salah satu pelancong yang ikut dalam tur, dia pakai 10 lapis kaos plus jaket! Pantas saja selama penerbangan dia tampak baik-baik saja, tanpa harus susah-payah menyembunyikan tangan yang gemetaran.

Uap yang tercipta dari hangatnya air memenuhi kamar mandi, yang kemudian perlahan-lahan melayang melalui lubang fentilasi. Sebagian menempel di cermin, memaksaku mengelapnya dengan telapak tangan agar dapat melihat pantulan diri. Wajahku, terutama bagian pipi, terasa perih dan kasar saat dipegang. Pas dilihat lebih teliti, ternyata ada guratan-guratan luka kecil, tak lebih dari 1 mili, menyebar di area bawah mata dekat hidung. Berkat udara dingin yang kurang kadar kelembapan, kulitku jadi kering sampai pecah-pecah. Mirip kasus tumit yang banyak goresan. Mukaku jadi tampak bersisik seperti ular yang mau ganti kulit.

Setelah berpakaian, saya langsung naik ke balkoni menuju ruang sarapan. Tidak seperti Royal Besiktaş yang menyiapkan makan pagi sesuai porsi, di sini disajikan secara prasmanan. Dan semua makanan yang tersaji sukses bikin perutku bernyanyi gembira. Dari ujung ke ujung meja menunya cukup konvensional, tidak ada yang terlalu begitu khas Turki. Jadinya lebih ramah di mulut. Saya kemudian mengambil 2 potong roti, sesendok besar selai cokelat, 2 potong keju, serta stroberi dan tomat. Sialnya, seluruh meja dan bangku di ruang sarapan telah ditempati oleh pelancong lain, jadinya tak ada pilihan selain menikmati sarapan di luar. Ya walaupun harus dingin-dinginan dan makan sendirian, setidaknya matahari sedang bersinar cerah.

Sarapanku baru saja mau habis saat mobil jemputan tiba-tiba sudah terparkir di depan gerbang hotel. Saya langsung jejalkan 2 tomat yang tersisa dalam mulut, lalu berlari menuju kendaraan. “Green Tour?” tanyaku pada sang supir. “Benar”, balasnya, kemudian menyuruhku mengambil tempat di mobil. Layaknya tadi pagi, semua bangku belum terisi penuh. Dan lagi-lagi ternyata saya satu tur dengan rombongan muda-mudi Tiongkok yang berisik—kalau kata orang Jayapura, mereka ini bicara dengan volume kandas! Macamnya kebiasaan di kampung sendiri tidak bisa direm-rem kala bertandang ke negara orang—apalagi kebiasaan itu dapat mengganggu orang lain.

Setelah berkeliling penginapan dan memenuhi seluruh bangku, supir pun tancap gas menuju pemberhentian pertama yang merupakan titik bertemu semua peserta tur. Letaknya tepat di tepi ngarai, dimana pemandangan yang terpampang di depan mata sangat lah keren; kami berdiri di antara Gӧreme dan kota batu lainnya di atas bukit; puncak-puncak ngarai indah yang berundak-undak di balik lembah; serta sebuah gunung bersalju di kejauhan yang tampak kebiruan. Formasi bebatuan di balik pagar pembatas ngarai tampak aneh sekaligus unik karena guratan-guratan di permukaannya terlihat bagai kain putih halus yang menyelimuti.

Setelah peserta tur lain tiba, sang pemandu wisata pun mengumpulkan kami dalam sebuah rombongan. Pria tersebut berdiri membelakangi lembah sambil menjelaskan sejarah Gӧreme. Tangannya menunjuk tiap tempat yang disebutkan, sehingga kami langsung bisa membayangkan keadaannya di masa lalu. Dari penjelasannya, topografi Gӧreme yang aneh bin ajaib ini tercipta akibat letusan dahsyat gunung berapi pada zaman tempo doeloe, yang tak lain adalah gunung bersalju di kaki langit sana. Tak terimajinasikan betapa hebatnya erupsi yang terjadi sampai-sampai sepenggal permukaan Bumi bisa berubah bagaikan wajah planet lain.

Selain pelajaran geografi, sang pemandu juga memberi ilmu etimologi. Arti kata Gӧreme adalah ‘tersembunyi’, ‘tak terlihat’, apapun itu yang menjelaskan tentang keadaan tidak kasat mata. Teorinya diperkuat dengan letak wilayah ini yang memang tersembunyi di dasar lembah, apalagi rumah batunya yang benar-benar tersamarkan. Terus bagaimana dengan perumahan di bukit sana? Ternyata terjalin sebuah sistem komunikasi antarkedua wilayah yang dihubungkan oleh burung merpati. Area puncak berfungsi sebagai tempat mengintai. Bila ada yang mencurigakan, pesan akan dikirim ke Gӧreme melalui merpati-merpati yang dibuatkan sarangnya di perbukitan; berupa lubang-lubang kecil yang diukir di permukaan dinding batu. Kapadokya sendiri berarti ‘tanah para kuda tangguh’—sebuah nama yang kontras dengan keadaannya sekarang, karena saya sama sekali tidak melihat hewan tersebut. Mungkin saja di masa lalu jumlahnya ribuan di sini, dan dipergunakan sebagai alat transportasi.

Setelah kultum yang dibumbui sedikit drama ini—seorang pemudi Tiongkok ditegur pemandu tur karena kebanyakan bicara saat beliau sedang pidato (rasakan!)—kami pun kembali ke mobil yang langsung begerak menuju lokasi wisata selanjutnya. Sepanjang jalan, pria bertubuh tambun tersebut aktif berbicara dan bercerita mengenai kawasan Kapadokya secara keseluruhan. Mulai dari cuaca, industri pariwisata, fenomena perpindahan penduduk, hingga curahan hati mengenai gajinya yang tidak begitu menjanjikan. Dari gaya bicara serta bahasa tubuh, sepertinya jam terbangnya selama melakoni pekerjaan ini sudah sangat tinggi. Bahasa Inggrisnya juga fasih dan terdengar sangat berpendidikan. Jelas saja, menjadi seorang pemandu wisata di Turki kan harus bergelar sarjana.

Cukup lama perjalanan kami hingga akhirnya mobil diparkir di area kawasan wisata yang merupakan atraksi pertama dalam tur ini: Kota Bawah Tanah, atau yang dalam bahasa setempat disebut Yeraltɪ Şehri. Kalau tidak ada pagar pemisah, plang penanda, serta loket karcis, mungkin tidak ada yang menyangka bahwa ada bekas jejak kehidupan bersejarah tepat di bawah telapak kaki. Kawasan sekitar sini hanya lah kumpulan gedung-gedung sederhana, masjid, serta pertokoan. Yang memberi kesan ramai hanya para penjajah oleh-oleh yang memajang berbagai bentuk buah tangan penuh warna. Sepertinya maksud utama dibangunnya kota ini masih dipertahankan hingga sekarang: samar dan tersembunyi.

Sang pemandu kembali mengumpulkan kami untuk pemberitahuan singkat mengenai tata tertib penelusuran kota bawah tanah; bahwa kami akan turun hingga sekian meter dari permukaan tanah dan sangat minim cahaya; bahwa kami akan menelusuri ruangan-ruangan sempit dan beratap rendah; dan bahwa di bawah sana kami tidak boleh terpisah dari rombongan karena banyak lorong dan hanya ada satu jalan keluar. Tentu saja kami juga harus menjaga kebersihan dan tidak berperilaku merusak karena tempat ini adalah situs sejarah yang semestinya dijaga dan dirawat.

Saya kemudian memasuki antrian menuju petugas yang berjaga di gerbang masuk. Sang pemandu mulai membagi-bagikan karcis untuk tiap peserta turnya. Desainnya mirip sekali dengan yang kudapat saat masuk ke Aya Sofya, yang membedakan hanya nominalnya. Pandanganku berganti antara karcis, gerbang masuk, serta pintu keluar situs. Semua orang tampak gembira, penasaran, serta tidak sabar ingin cepat-cepat meninggalkan antrian dan memasuki serpihan masa lalu di bawah sana. “Kamu yakin ingin masuk?” tanya sang pemandu tiba-tiba, dia berdiri tepat di sampingku. Saya menatapnya sesaat, kemudian kembali memandang karcis yang sedang kugenggam.

Bagi penderita klaustrofobia, tekanan darah tinggi, kelainan jantung, asma, serangan panik, serta sakit pinggang, disarankan tidak ikut masuk ke kota bawah tanah karena….imbauan itu, yang tadi diumumkan sang pemandu saat masih di dalam mobil, terngiang kembali. Senyumku langsung hilang saat mengetahui kondisiku termasuk dalam salah satu yang disebutkan. Bagaimana mungkin saya harus kehilangan kesempatan melihat salah satu keajaiban dunia, hanya karena sakit pinggang yang tampaknya tidak normal untuk diderita lelaki seusiaku?! Pagi tadi saya cukup berhasil mengatasi rasa takutku pada ketinggian, dan saya bangga karena itu, tapi…”Tidak, saya tunggu di luar saja”, kataku akhirnya, sambil menyerahkan kembali karcis pada sang pemandu. Dia memang lihai melihat peserta tur yang tampak ragu. “Tak apa. Tunggu saja kami di sini. Satu jam lagi kami sudah keluar” katanya, sambil menepuk bahuku. Senyumnya meyakinkanku bahwa diriku bukan lah seorang pengecut.

Saya pun melangkah keluar dari antrian menuju sebuah toko, membeli sekantong kacang almon dan air minum, kemudian duduk sendirian di salah satu bangku. Sambil mengunyah kacang yang terasa asin, pandanganku mengarah pada antrian yang seperti tiada habisnya. Ada rasa menyesal, tentu saja. Kapan lagi saya bisa ke Turki dan mengkhususkan diri hanya untuk menantang diri memasuki kota bawah tanah itu. Tapi ini bukan lah fobia ketinggian yang tidak meninggalkan rasa sakit saat dilawan. Saya tahu persis bagaimana menjengkelkannya kala harus berurusan dengan sakit pinggang, apalagi saya tidak bawa obat penghilang rasa sakit. Jadi, cari aman saja. Daripada menderita nantinya.

Menghabiskan seluruh kacang ternyata tidak sampai 30 menit—menghancurkan rencanaku semula yang hanya duduk-duduk santai sambil pasang mata di pintu keluar. Pura-pura minum sedikit demi sedikit juga malah makin mempertajam pandangan intimidasi orang lain yang sejak tadi ingin duduk. Dengan ikhlas saya pun meninggalkan bangku, lalu berjalan menuju ruang terbuka luas berwujud lingkaran, tak jauh dari toko. Bentuknya seperti piringan kaset, yang bagian tengahnya diisi rerumputan dan sebatang pohon meranggas. Di sisi terluar berderet kafe, toko oleh-oleh, serta sebuah gereja tua yang cukup menarik langkahku ke arahnya. Semakin mendekati, semakin terlihat jelas reruntuhan yang tampak di beberapa sisi bangunan berwarna cokelat lumpur ini. 3 buah salib yang tercipta dari ruang negatif di antara dinding masih bertahan kokoh di posisinya.

Beberapa anak kecil, entah darimana, tiba-tiba saja datang menghampiri, mengajakku untuk mengeksplorasi gereja tersebut. Tapi kutolak dengan lambaian tangan, sambil tersenyum tentunya. Setelah mereka berlalu, muncul lagi seorang pria dewasa yang sepertinya menawarkan jasa pandu wisata juga. Dia berbicara dalam bahasa Turki, dengan ekspresi wajah yang diset dalam mode ramah. “Tidak, terima kasih” sahutku, masih tersenyum, kemudian putar arah menuju sebuah jalan kecil di antara deretan kafe.

Di tiap sisi sepanjang jalan tertata bangku dan meja makan berbagai model. Ada yang tersisi penuh oleh turis, ada juga yang kosong-melompong. Yang paling keren adalah sekumpulan pelancong yang tengah makan sambil dibuai musik khas Turki. Dawainya yang ramai dan menyenangkan berasal dari beberapa alat musik tradisional yang dimainkan secara bersamaan. Seperti mendengar rekaman ansambel yang diputar melalui pengeras suara berkualitas mumpuni, padahal ini terjadi secara langsung. Melihat beberapa dari pelancong tersebut asyik bergoyang membuatku senyum-senyum sendiri sambil kepala mengangguk-angguk mengikuti irama.

Setibanya di ujung perjalanan ternyata hanya lah pelataran tempat parkir yang dipenuhi mobil serta bus. Dan saya mulai disergap nenek-nenek penjual oleh-oleh berupa boneka wanita berpakaian khas dengan warna nyentrik. Saya langsung mundur diri dan berjalan kembali ke arah gerbang kota bawah tanah. Berkeliling di sekitar sini terasa singkat, tapi ternyata cukup makan waktu. Saya makin mempercepat langkah, bingung mau berharap rombonganku masih berada di dalam atau sudah keluar. Atau lebih tepatnya antara malas menunggu dan takut ketinggalan.

Ah, semoga tidak keduanya.

5 responses to “17. Tetap Tersembunyi

Yang dah nyasar kesini, jangan lupa tinggalkan jejak ;-)

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s