28. Jelek Dulu, Cantik Kini (B)

Hari Ketujuh (7/18)

Sambil menikmati lezatnya es krim, saya pun lanjut mengeksplorasi Şirince. Setelah melewati masjid dan tiba di ujung jalan yang lagi-lagi bercabang dua, saya mengambil arah kiri yang membawaku ke deretan toko-toko sovenir yang tampak lebih menarik dan penuh warna. Setiap toko memiliki barang dagangan masing-masing: mulai dari toko penjajah rempah-rempah yang ditaruh dalam boks-boks dan wadah-wadah bermotif tradisional; kedai-kedai penjual krim wajah serta produk hasil ekstrak minyak zaitun; etalase-etalase penuh stoples berisi asinan zaitun hijau dan hitam; kotak-kotak besar bertabur sabun-sabun yang memiliki bentuk buah-buahan dengan warna khasnya; rak-rak bertata tas wanita, piring, dan mangkuk warna-warni; serta baju-baju dan kain-kain yang digantung dan ditumpuk di depan toko pakaian. Rasanya seperti Continue reading

27. Jelek Dulu, Cantik Kini (A)

Hari Ketujuh (7/18)

“Şirince?”

Nama sebuah desa Ortodoks tua.

“Şirince?”

Bertengger jauh di puncak pegunungan.

“Maaf, apakah mobil ini akan pergi ke ŞİRİNCE?”

Tanyaku untuk yang ketiga kalinya pada seorang pria yang tengah duduk di bangku paling belakang minibus. Sebenarnya petugas otogar sudah memberitahuku kalau kendaraan ini memang akan ke desa tersebut, dan tulisan “SELҪUK ŞİRİNCE” yang tertera di bodi belakang mobil ikut menguatkan info tersebut, tapi saya hanya ingin memastikan saja. Pria itu mengangkat mukanya, berkata “iya”, kemudian kembali tenggelam ke layar hape—sungguh saya tidak mengharapkan respon yang lebih baik dari itu untuk pertanyaan ‘tidak penting’ ini. “Teşekkür ederim” kataku, lalu mengambil tempat di bangku belakang supir. Continue reading

26. Bau Rica (1)

Hari ketujuh (7/18)

Pernah kah kita bertanya-tanya, seperti apa aroma tubuh kita, atau orang Indonesia secara keseluruhan, pada saat sedang berada di negara orang? Tentu kita pernah tanpa sengaja mencium aroma keju yang menguar dari tubuh para bule yang berkeringat disengat matahari Bali. Atau aroma bawang yang berkeliaran kemana-mana saat berada di sekumpulan orang India. Ini memang terdengar agak rasis, tapi saya yakin makanan apapun yang Continue reading

25. “Hanya Kolam Susu”

Hari Keenam (6/18)

Saat kuliah dulu, saya dan teman-teman pernah mengunjungi sebuah tempat pemandian air panas. Saya lupa nama tempatnya, tapi letaknya lumayan jauh dari pusat kota Bogor. Kami ke sana berempat menggunakan motor. Tujuan utama bertandang ke tempat ini sebenarnya untuk mengadakan tes bahasa Inggris—salah seorang temanku bekerja paruhwaktu sebagai tutor bagi karyawan setempat. Dan hari itu adalah hari ujian praktek. Jadi lah dua temanku membantu sang tutor untuk melaksanakan ujian, sedang saya sendiri dibiarkan berkeliling dan berendam air panas. Saya tidak mengingat jelas akan tempat itu, tapi ada satu hal yang masih melekat erat di ingatan: bukit batu kapur hasil endapan mineral mata air (panas) yang lazim disebut travertin. Bukitnya terdiri dari Continue reading

24. Tombol Merah

Hari Keenam (6/18)

“Anda mau kemana? Jalan ini buntu. Ambil jalan yang lain” perintah seorang petugas berseragam yang berjalan menghampiri, tanpa repot-repot menungguku menjawab pertanyaannya.

Rasa penasaran, yang selalunya terlampau besar, telah membawaku ke jalan ini. Layaknya saat mengunjungi museum, sebisa mungkin kuharus melihat seluruh koleksi yang dipajang, bahkan yang berbentuk kecil sekalipun di sudut ruangan yang tidak diperhatikan orang lain. Tidak ada yang boleh terlewati. Semua harus tersapu bersih oleh mataku. Mungkin tindakan ini lebih tepatnya disebut Continue reading

23. An Original Play

Hari Keenam (6/18)

Nihil sinar lampu, layar lebar bermandikan cahaya terang, serta suara yang membahana dari berbagai sisi: semua hal ini membuat pengalaman pertamaku menonton film di bioskop begitu mengesankan. Terdengar konyol sebenarnya, bukan? Masa nonton di bioskop saja mengesankan? Tapi ini kenyataan. Bayangkan saja, saya  baru memasuki ruang teater film di pertengahan tahun 2007, di salah satu gedung bioskop legendaris kota Continue reading

22. Musim Semiku

Hari Keenam (6/18)

Di saat anak-anak lainnya sudah tertidur lelap di kasur mereka yang empuk, dibuai mimpi indah tentang istana para raja atau mimpi buruk dikejar setan hidung panjang, saya masih stand by di depan televisi, menonton sambil berbaring di atas sofa yang sudah kuanggap tempat tidur paling nyaman sedunia, jam 12 malam lewat sekian menit. Kalau anak SD begadang karena menyaksikan kartun favoritnya mungkin masih bisa dibenarkan (walau pastinya orang tua tidak akan mengizinkan, dan rasanya tidak ada stasiun TV yang cukup gila untuk memutar kartun di tengah malam), tapi tontonan favoritku justru Discovery Channel / National Geography, tetang keajaiban alam, kolam-kolam alami tanpa dasar, sungai penuh ikan dan buaya, dan yang paling kusuka malam ini adalah dokumentasi mengenai bunga-bunga di seluruh dunia.

Ayah, ibu, dan kakak perempuanku sudah terlelap di kasur samping sofa tempatku berbaring, jadinya kusengaja menurunkan volume suara hingga yang paling rendah. Bukan agar tidak mengganggu tidur mereka, tapi justru saya takut salah satu orang tuaku terjaga dan menyadari anak lelakinya yang belum mengerjakan PR dan harus sekolah pagi besok belum juga tidur, sehingga saya akan dipaksa menutup mata. Saya tidak rela tontonan semenarik ini harus diakhiri. Mataku masih semangat untuk dipakai menonton hingga beberapa jam ke depan.

Continue reading

21. 100 atau 20?

Hari Keenam (6/18)

“Pamukkale! Pamukkale!!” teriakan pramugara bus membuatku kaget bangun. Kakiku terasa sakit karena berada di satu posisi, tak bergerak sama sekali, selama berjam-jam. Agak kaku saat digerakkan, apalagi ruang duduk yang sempit tidak memungkinkan untuk meluruskan kaki. Mataku yang masih terlampau berat untuk dibuka lebar-lebar melirik jam tangan. Sudah pukul 6 pagi. Tak terasa 11 jam penuh tidur telah berlalu. “Pamukkale?” tanyaku pada sang pramugara yang kebetulan melintas. Kepalanya mengangguk beberapa kali, kemudian berkata hal-hal lain yang mungkin artinya “tolong segera bersiap-siap, bus sedikit lagi berhenti”.

Benar dugaanku, tak berapa lama kemudian kendaraan menepi dan berhenti total. Seluruh penumpang langsung berdiri serentak dan mengambil barang yang ditaruh di loker kabin di atas kepala. Karena tidak mau berdesak-desakkan menuju pintu keluar, kutunggu sampai semua penumpang turun, baru saya bergerak. Belum juga beradaptasi dengan sergapan udara pagi yang dinginnya bikin kuping mati rasa, seorang pria entah dari mana langsung saja mengkomando kami untuk memasuki minibus. Saya memilih duduk di depan biar bisa lihat pemandangan, walau harus merasa tidak nyaman dengan ransel dijepit di antara kedua kaki. Continue reading