25. “Hanya Kolam Susu”

Hari Keenam (6/18)

Saat kuliah dulu, saya dan teman-teman pernah mengunjungi sebuah tempat pemandian air panas. Saya lupa nama tempatnya, tapi letaknya lumayan jauh dari pusat kota Bogor. Kami ke sana berempat menggunakan motor. Tujuan utama bertandang ke tempat ini sebenarnya untuk mengadakan tes bahasa Inggris—salah seorang temanku bekerja paruhwaktu sebagai tutor bagi karyawan setempat. Dan hari itu adalah hari ujian praktek. Jadi lah dua temanku membantu sang tutor untuk melaksanakan ujian, sedang saya sendiri dibiarkan berkeliling dan berendam air panas. Saya tidak mengingat jelas akan tempat itu, tapi ada satu hal yang masih melekat erat di ingatan: bukit batu kapur hasil endapan mineral mata air (panas) yang lazim disebut travertin. Bukitnya terdiri dari Continue reading

24. Tombol Merah

Hari Keenam (6/18)

“Anda mau kemana? Jalan ini buntu. Ambil jalan yang lain” perintah seorang petugas berseragam yang berjalan menghampiri, tanpa repot-repot menungguku menjawab pertanyaannya.

Rasa penasaran, yang selalunya terlampau besar, telah membawaku ke jalan ini. Layaknya saat mengunjungi museum, sebisa mungkin kuharus melihat seluruh koleksi yang dipajang, bahkan yang berbentuk kecil sekalipun di sudut ruangan yang tidak diperhatikan orang lain. Tidak ada yang boleh terlewati. Semua harus tersapu bersih oleh mataku. Mungkin tindakan ini lebih tepatnya disebut Continue reading

23. An Original Play

Hari Keenam (6/18)

Nihil sinar lampu, layar lebar bermandikan cahaya terang, serta suara yang membahana dari berbagai sisi: semua hal ini membuat pengalaman pertamaku menonton film di bioskop begitu mengesankan. Terdengar konyol sebenarnya, bukan? Masa nonton di bioskop saja mengesankan? Tapi ini kenyataan. Bayangkan saja, saya  baru memasuki ruang teater film di pertengahan tahun 2007, di salah satu gedung bioskop legendaris kota Continue reading

22. Musim Semiku

Hari Keenam (6/18)

Di saat anak-anak lainnya sudah tertidur lelap di kasur mereka yang empuk, dibuai mimpi indah tentang istana para raja atau mimpi buruk dikejar setan hidung panjang, saya masih stand by di depan televisi, menonton sambil berbaring di atas sofa yang sudah kuanggap tempat tidur paling nyaman sedunia, jam 12 malam lewat sekian menit. Kalau anak SD begadang karena menyaksikan kartun favoritnya mungkin masih bisa dibenarkan (walau pastinya orang tua tidak akan mengizinkan, dan rasanya tidak ada stasiun TV yang cukup gila untuk memutar kartun di tengah malam), tapi tontonan favoritku justru Discovery Channel / National Geography, tetang keajaiban alam, kolam-kolam alami tanpa dasar, sungai penuh ikan dan buaya, dan yang paling kusuka malam ini adalah dokumentasi mengenai bunga-bunga di seluruh dunia.

Ayah, ibu, dan kakak perempuanku sudah terlelap di kasur samping sofa tempatku berbaring, jadinya kusengaja menurunkan volume suara hingga yang paling rendah. Bukan agar tidak mengganggu tidur mereka, tapi justru saya takut salah satu orang tuaku terjaga dan menyadari anak lelakinya yang belum mengerjakan PR dan harus sekolah pagi besok belum juga tidur, sehingga saya akan dipaksa menutup mata. Saya tidak rela tontonan semenarik ini harus diakhiri. Mataku masih semangat untuk dipakai menonton hingga beberapa jam ke depan.

Continue reading

21. 100 atau 20?

Hari Keenam (6/18)

“Pamukkale! Pamukkale!!” teriakan pramugara bus membuatku kaget bangun. Kakiku terasa sakit karena berada di satu posisi, tak bergerak sama sekali, selama berjam-jam. Agak kaku saat digerakkan, apalagi ruang duduk yang sempit tidak memungkinkan untuk meluruskan kaki. Mataku yang masih terlampau berat untuk dibuka lebar-lebar melirik jam tangan. Sudah pukul 6 pagi. Tak terasa 11 jam penuh tidur telah berlalu. “Pamukkale?” tanyaku pada sang pramugara yang kebetulan melintas. Kepalanya mengangguk beberapa kali, kemudian berkata hal-hal lain yang mungkin artinya “tolong segera bersiap-siap, bus sedikit lagi berhenti”.

Benar dugaanku, tak berapa lama kemudian kendaraan menepi dan berhenti total. Seluruh penumpang langsung berdiri serentak dan mengambil barang yang ditaruh di loker kabin di atas kepala. Karena tidak mau berdesak-desakkan menuju pintu keluar, kutunggu sampai semua penumpang turun, baru saya bergerak. Belum juga beradaptasi dengan sergapan udara pagi yang dinginnya bikin kuping mati rasa, seorang pria entah dari mana langsung saja mengkomando kami untuk memasuki minibus. Saya memilih duduk di depan biar bisa lihat pemandangan, walau harus merasa tidak nyaman dengan ransel dijepit di antara kedua kaki. Continue reading

20. Sang Oportunis

Hari Kelima (5/18)

Oportunis, sebuah istilah yang entah mengandung makna negatif atau sebaliknya. Saya pernah kelaparan di kosan, tabungan habis, uang receh yang terkumpul pun tak mencapai angka 1000, jadinya saya beralasan main ke rumah kenalan, kemudian pulang dengan perut kenyang karena disuruh makan di sana. Apakah itu sikap oportunis? Mungkin. Pernah juga saat jalan-jalan di Bandung, mampir di salah satu pusat oleh-oleh, lalu dengan hati berbunga-bunga mencoba semua penganan tradisional yang tersedia, toh sang pemilik toko cuek-cuek saja. Apakah itu juga sebuah perilaku oportunis? Kemungkinan besar iya.

Entah dari sudut mana kita memandang oportunisme, terkadang sikap ini benar-benar bisa menyelamatkan hidupmu. Atau dalam kasusku, mengenyangkan perut kosong! Kedengarannya memang seperti ‘sang pengambil untung tak tahu malu’, tapi saya dan kenalanku ini sudah seperti keluarga, dan beliau selalu menyuruhku makan tiap kali main ke rumahnya, bahkan saat dompetku lagi tebal-tebalnya. Kejadian di Bandung itu juga berakhir manis: saya membeli keripik tempe, walaupun hanya setengah kilo—itupun masih patungan sama teman. Haha. Continue reading

3. Sambutan (Terlampau) Hangat

Prapemberitahuan: Perjalanan ini sejatinya dilakukan oleh dua orang pelancong, yaitu saya dan teman. Namun, dengan alasan tertentu, kami sepakat untuk tidak memasukkan satupun hal mengenai teman saya dalam jurnal perjalanan kali ini. Karena itu lah, cerita ini saya susun seakan-akan hanya saya seorang yang menjalaninya, dengan tanpa mengurangi atau melebihkan esensinya, walaupun ada perubahan dari sisi penokohan. Semoga pembaca menikmati.

 (Hari Pertama: 1/18)

Saya bukan lah pelancong ulung yang sudah keliling di lebih dari 100 negara, juga bukan petualang handal yang keluar masuk hutan berbekal parang panjang. Saya hanya lah seorang penikmat jalan-jalan tanpa peduli mengusung embel-embel backpacker, hitchpacker, apapun itu istilahnya. Saya adalah seorang pelancong. Tak lebih. Karena bagiku melancong bukan hanya wadah untuk membuktikan siapa Continue reading

2. Menuju Kegilaan

Prapemberitahuan: Perjalanan ini sejatinya dilakukan oleh dua orang pelancong, yaitu saya dan teman. Namun, dengan alasan tertentu, kami sepakat untuk tidak memasukkan satupun hal mengenai teman saya dalam jurnal perjalanan kali ini. Karena itu lah, cerita ini saya susun seakan-akan hanya saya seorang yang menjalaninya, dengan tanpa mengurangi atau melebihkan esensinya, walaupun ada perubahan dari sisi penokohan. Semoga pembaca menikmati.

(Hari Pertama: 1/18)

Saya pernah baca di beberapa artikel berita daring bahwa tingkah wisatawan Tiongkok itu kampungan. Awalnya saya tidak percaya, tapi setelah melihat kelakuan mereka dalam penerbangan ini secara tidak langsung mengaminkan pemberitaan tersebut. Kami telah mendarat dengan mulus di bandara internasional Attatürk, dan saat pilot masih menyetir pesawat menuju parkiran, sebuah rombongan turis asal negeri tirai bambu sudah berdiri sambil mengeluarkan tas mereka dari kabin. Jujur di Indonesia juga ada manusia kampungan kayak begini; Continue reading

1. Hei, Aku Datang!

Prapemberitahuan: Perjalanan ini sejatinya dilakukan oleh dua orang pelancong, yaitu saya dan teman. Namun, dengan alasan tertentu, kami sepakat untuk tidak memasukkan satupun hal mengenai teman saya dalam jurnal perjalanan kali ini. Karena itu lah, cerita ini saya susun seakan-akan hanya saya seorang yang menjalaninya, dengan tanpa mengurangi atau melebihkan esensinya, walaupun ada perubahan dari sisi penokohan. Semoga pembaca menikmati.

(Hari Pertama: 1/18)

Saya selalu memiliki dua perasaan yang saling berkontradiksi tiap kali pesawat hendak mendarat: Senang dan jengkel. Agak aneh memang, tapi memang itu lah yang selalu terjadi. Perasaan pertama, tentu saja, muncul karena tujuan sudah di depan mata. Tidak ada yang lebih menggembirakan seorang penumpang pesawat daripada Continue reading

Pesisir Paling Timur Indonesia: Pantai Koya

Pantai Koya“Ko tahu tugu yang dekat POM bensin lama to?”1 kata kakakku saat kami berdua sedang duduk-duduk di teras depan rumah. Saya sebenarnya ogah menanggapi, menoleh pun malas, akibat dikuasai perasaan jengkel karena tidak diajak lari pagi, tadi. Lagipula apa pentingnya pertanyaan ini, “Iyo too”2, jawabku akhirnya sambil mendengus, “kenapa jadi?”3 balik kubertanya. “Tadi pas lari pagi lewat situ, tong berhenti sebentar. Ternyata dalam kolam tuh ada ikan-ikan kecil”4 jelasnya sambil menerawang, membayangkan yang baru saja dia katakan, seakan-akan kolam penuh ikan tersebut tiba-tiba muncul di teras rumah kami yang sempit. Saya berusaha menyusupi pikiran kakakku saking penasarannya, mencoba mengimajinasikan hal yang sama. Tapi apa daya, patungnya saja masih samar-samar di gambaran. Lagipula, saya memang tidak pernah benar-benar memperhatikan tugu itu setiap kali melewatinya.

Saya jadinya malah makin jengkel, “ikan-ikan jelek saja moo!”5, ejekku dalam hati. Tak menyadari ledekanku, kakakku terus melanjutkan ceritanya, tapi saya sudah malas mendengar. Segera kukumpulkan mainan robot-robot plastik di lantai, lalu berlari menuju ibuku di dapur…

 

18 tahun pun berlalu…..

Continue reading