Keluar Negeri Lagi, Walaupun Cuma ke…

Pantai di Desa Wutung, PNG

Pantai di Desa Wutung, PNG

“Fier, kamu udah pernah pergi ke perbatasan belum?” tanya bosku dalam logat bule Filipina-nya saat saya hendak pulang kerja. “belum” jawab saya singkat, sambil mengisi absen jam pulang. “Hari Sabtu ini kami mau pergi kesana, kamu boleh ikut kalau kamu mau?” tawarnya lagi. Mendengar tawaran tersebut, bulu kuduk melancongku seketika berdiri. Siapa yang mau nolak diajak jalan-jalan. “Sure!” sahut saya gembira.

Bagaimana tidak menyenangkan?! Saya belum pernah sekalipun ke perbatasan walaupun saya lahir dan tinggal bertahun-tahun di Jayapura. Perbatasan yang saya maksud disini adalah perbatasan darat antara negara Indonesia dengan negara Papua Nugini (PNG) yang terletak di sisi paling Timur Jayapura, tepatnya di  Skouw. Udah jadi hal umum bagi warga Jayapura untuk jalan-jalan di perbatasan, dengan kata lain sebagian besar warga di sini udah sering keluar negeri.

Jembatan di atas Sungai Keruh

Jembatan di atas Sungai Keruh

Karena saya diundang, jadinya yang tanggung seluruh biaya perjalanan adalah bos, kecuali makan siang. Pagi jam 7 sebelum dijemput pun saya kocar-kacir nyari nasi di rumah sodara karena ibuku belum masak. Walaupun bekalnya hanya nasi putih, tempe, dan ayam sisa opor kemarin, seenggaknya ada yang bisa disantap siang nanti. Hehe.  Mobil pun datang menjemput saya tepat 14 menit sebelum jam 8.

Dalam perjalanan, kami melewati kampung Abe Pantai dan Nafri yang mengelilingi Teluk Youtefa yang cantik, lalu menelusuri jalan pedesaan Koya yang penuh dengan kebun dan sawah. Di desa Koya Barat banyak terdapat kolam pemancingan terkenal yang sering disinggahi para penggila pancing. Sedangkan saat memasuki Koya Timur, suasana daerah Jawa Timur sangat terasa disini; banyak terdapat gerbang jalan bergaya khas daerah tersebut (terutama daerah Mojokerto). Mungkin karena ini adalah daerah transmigran.

Pasar di Skouw

Pasar di Skouw

Saat akhirmya kami mencapai jalan cabang—arah kiri ke pantai Holtekam, arah kanan ke Skouw—yang dilatarbelakangi oleh bukit yang memanjang, saya merasa seperti berada di ujung dunia. Well, ada benarnya juga sih, soalnya saya sedang menuju wilayah paling ujung Indonesia. Rumah-rumah penduduk yang sederhana semakin berkurang saat jalan yang membelah bukit membawa kami berada di antara pepohonan yang lebat. Jalan aspal yang mulus pun semakin membuat mobil kami makin semangat melaju.

Kantor Imigrasi Indonesia

Kantor Imigrasi Indonesia

Saya dirundung keheranan saat melihat beberapa rumah kayu yang tumbuh bagai jamur kesepian di daerah sarat pepohonan ini. Saya sampai bertanya-tanya sendiri, bagaimana mereka bisa tahan hidup di tempat yang sepi-melepi ini, apa ada listrik untuk menerangi malam, dan apa yang mereka cari di tanah bertabur dedaunan lembab ini. Padahal modernisasi sedang “galaknya” melanda Jayapura. Namun mereka malah lebih memilih tinggal di hutan sunyi ini.

Perjalanan terasa panjang dan lama. Bunyi angin yang menderu di ambang jendela pintu menemani perjalanan kami. Jarang sekali ada mobil yang berpapasan dengan kami. Maklum, tempat ini jauh sekali dari peradaban. Saya hanya melihat seorang pria paruh baya yang melangkah mengikuti sisi jalan. Mungkin ingin berkebun. Entah di sisi hutan bagian mana.

Pos Polisi Skouw-Perbatasan

Pos Polisi Skouw-Perbatasan

Kami melewati sebuah jembatan besar yang dibangun di atas sungai berair keruh yang lebar, melewati sebuah pos tentara, kembali lagi menelusuri jalan melandai yang membuat jantung mencelos, lalu sampai lah kami di sebuah pasar yang penuh dengan bendera merah putih yang berkibar, yang secara ga langsung menandakan bahwa kami telah tiba di Skouw. Hampir semua kios tutup. Mungkin masih liburan, soalnya kemarin kan baru lebaran.

Mobil terus melaju hingga berhenti di pos tentara lagi. Suaminya bos yang kendarain mobil harus turun dan melapor. Entah disuruh ninggalin KTP atau ga. Seorang pria yang duduk-duduk  di samping jalan menghampiri kami dan menawarkan uang 5 Kina (mata uang PNG) dengan harga 15.000. Kalau menurut kurensi terbaru, nilai tukar 1 Kina sebenarnya Rp 4500, tapi pria ini menjualnya lebih murah Rp 1500an.

Mercusuar Indonesia

Mercusuar Indonesia

“Ini untuk kenang-kenangan. Disana (perbatasan) ga ada jasa penukaran. Nanti bisa ditunjukkan sama teman dan keluarga, bukti kalau udah keluar negeri, walaupun cuma ke PNG saja” tawar pria tersebut, tapi ga ada yang tertarik. Lagipula perkataannya menjengkelkan sekali, “bukti kalau udah pergi keluar negeri”?? saya udah pernah kali mas. Dankalau saja dia tahu kalau bos ku itu orang Filipina yang notabene sedang berada di “luar negeri” nya, mukanya pasti merah padam.

Mobil kembali bergerak menuju kantor imigrasi yang bertetangga dengan kantor polisi. Di sini, suami si bos harus turun lagi. Herannya, kami ga perlu menunjukkan paspor. Padahal kan normalnya kalau mau lintas batas negara harus nunjukkin paspor di kantor imigrasi. Administrasi beres, portal dibuka, mobil pun langsung menuju tempat parkir dekat gerbang selamat jalan.

Gerbang Selamat Datang PNG

Gerbang Selamat Datang PNG

Saat turun dari mobil, cuaca sangat cerah sekaligus terasa panas sekali. Saya segera berjalan melewati gerbang menuju tanah tak bertuan seluas kira-kira 10×50 meter di antara teritori Indonesia dan PNG. Tentu saja di tanah lapang ini ga boleh di bangun apa-apa karena memang bukan milik siapa-siapa, baik itu negara kita maupun PNG. Terdapat sebuah mercusuar Indonesia yang menjulang tinggi dan dilapisi cat putih dengan bercak noda hitam. Tampak sangat klasik dilatari langit biru berawan.

Saat melewati gerbang selanjutnya yang udah mulai berkarat dan menapak di tanah negara tetangga, akhirnya saya keluar negeri lagi, walaupun cuma ke PNG (seperti kata si pria penjual uang Kina). Beberapa orang PNG sedang duduk santai di satu undakan di bawah kanopi. Saya mendengar percakapan mereka, tetapi ga mengerti sama sekali karena bahasa mereka berbeda. Beberapa yang lain berdiri di depan kantor imigrasi sederhana yang bercat biru.

Iklan Pencegahan AIDS

Iklan Pencegahan AIDS

Kami melenggang bebas memasuki wilayah ini tanpa harus melapor di kantor imigrasi. “There’s a beach down there” kata bosku, telunjukya menunjuk ke sebuah rumah kayu reyot. Saya pun berjalan ke arah yang di tunjuknya. Rumah itu ternyata berdiri tepat di samping jurang, dan dari balik celah lumayan-lebar antara pepohonan dan dinding rumah tersebut, tampak garis melengkung hitam-putih yang menjadi batas antara lautan yang biru serta ayunan daun nyiur yang melambai-lambai. Cantik sekali pantainya. Sangat cantik.

Kantor Imigrasi PNG

Kantor Imigrasi PNG

Melihat saya yang senyum-senyum sendiri mengagumi keindahan di bawah lembah sana, seorang ibu paru bayah yang sedang duduk di depan rumah kayu reyotnya berkata “ambil gambar dari bawah rumah. Lebih bagus” tawarnya, nyaris tak ada ekspresi di wajahnya “you can take more beautiful pictures from down there. Just Rp 10.000” katanya lagi dalam bahasa Inggris, telunjuknya menunjuk sebuah jalan kecil yang menuju bagian bawah rumahnya. Saya hanya tersenyum, lalu meninggalkan wanita itu. Dari hasil pengamatan sekilasku, orang PNG yang tinggal dekat wilayah perbatasan bisa ngomong 3 bahasa sekaligus: B. Indonesia, B. Inggris, dan Bahasa asli mereka.

Kata bosku, beberapa pedagang PNG menjual sate kambing yang lezat. Harganya kalau di hotel berbintang bisa mencapai 100ribuan, tapi di sini hanya seharga 30ribuan. Wah, kalau saya sih, lezat atau pun ga, tentu aja ga bakalan ikutan beli. Ga begitu meyakinkan kan yang nyembelih kambingnya baca kalimat basmalah atau ga. Masalahnya (bagi si bos), belum ada satu pun kedai sate yang buka. Jadi lah kami menunggu di depan salah satu kedai.

Pemandangan Menakjubkan

Pemandangan Menakjubkan

“Can we go down there? To the beach?” tanya saya pada bos. “You can’t. Unless you bring your passport. Itu pun kamu hanya bisa sebentar saja, ga bisa buat menginap” jelasnya. Duh! Jadi nyesal sekali saya ga bawa paspor. Ga nginap juga gapapa, yang penting saya main di pantainya. Melihat tampang saya yang kecewa berat, suami si bos pun sahutin “Ya, kapan-kapan kan bisa ke sini lagi. Yang penting kan dah tahu jalannya”.

Wutung dan Pantainya (yang tak bisa saya kunjungi -_-)

Wutung dan Pantainya (yang tak bisa saya kunjungi -_-)

Lama-lama bosan juga berdiri nungguin si penjual sate. Saya pun mengajak sohibku untuk motret-motret di bawah rumah kayu reyot. Gapapa lah keluar duit, yang penting bisa nikmatin pemandangan. Setelah membayar, kami pun berjalan menuruni tanah karang yang melandai. Pemandangan dari bawah sini ternyata memang spektakuler, pasir pantai abu-abu gelap yang dihiasi rumah-rumah sederhana penduduk di bawah sana terlihat sangat jelas.

Berpose Dulu ;)

Berpose Dulu 😉

Desa Wutung adalah nama desa di bawah sana. Penduduknya tinggal di pesisir pantai mereka yang terkenal indah. Buih yang memutih menjadi highlight pasir dan batu karang yang hitam. Ombak-ombak yang besar pun menghantam bibir pantai, seperti menantang siapa pun untuk berselancar. Pohon kelapa yang berayun-ayun terlihat begitu kontras di sisi biru laut yang berkilauan. Saya terpanah dengan pemandangan ini, tetapi sekaligus jengkel sendiri, pantai seindah itu ada di depan mata. Before my VERY eyes! Tapi kenapa ga bisa ke sana?! pikir saya jengkel. Kenapa sih desa sekeren ini ga masuk wilayah Indonesia?! Kenapa harus jadi milik PNG?!geram saya jengkel, bukan refleksi sikap nasionalis sebenarnya, melainkan lebih ke alasan “kan saya bisa bebas main di pantai itu kalau masuk wilayah teritori Indonesia”.

Rumah Adat Desa Wutung

Rumah Adat Desa Wutung`

Lama-lama tempat ini seperti berubah jadi tempat panggangan saking panasnya. Padahal ada jejeran perbukitan yang sangat teduh dan dilapisi awan yang melayang rendah tak jauh dari tempat ini. Kulit saya sampai perih dan memerah (nasib seorang dengan kulit gampang terbakar). Kalau di perhatikan dengan seksama, di salah satu titik di jejeran bukit ada bendera Indonesia yang terpampang lebar, namun terlihat kecil karena tenggelam dalam badan bukit. Mungkin tentara Indonesia yang buat.

Bendera Merah Putih di Puncak Bukit

Bendera Merah Putih di Puncak Bukit

Akhirnya si bos menyerah juga setelah satu jam menunggu penjual sate yang ga datang jua. Dan saya pribadi udah ga tahan menadah panas di negara ini. Kami pun kembali ke parkiran dan langsung tancap gas. Di akhir perjalanan, kami singgah di salah satu tempat pemancingan di Koya Barat. Bukan untuk memancing, tapi untuk makan siang. Suami si bos pun memesan lalap mujair (makanan favorit orang Jayapura) beserta lauk-pauk lainnya. Hehehe, saya pun 3 kali nambah (busset) saking laparnya. Tengkyu bos! 😉

Panas Membara di bawah Langit Biru

Panas Membara di bawah Langit Biru

Ternyata ga semua daerah perbatasan itu kurang perhatian dari pemerintah, contohnya ya Skouw ini. Walaupun terhitung jauh dari peradaban, tapi fasilitasnya terhitung memadai. Akses menuju Jayapura kota mulus dan bagus, pasar pun dibuat sebaik mungkin agar orang PNG betah belanja, listrik pun tersedia. Ya, beribu terima kasih dariku untuk pemerintah yang udah berusaha untuk membangun perbatasan Indonesia-PNG di Jayapura selayak mungkin untuk dihuni. Mudah-mudahan hal ini juga bisa terjadi di perbatasan darat lainnya. Dan, pada akhirnya, PNG pun menjadi negara ke 4 yang telah saya kunjungi, walaupun hanya sebatas di perbatasan. 😉

Selamat Jalan

Selamat Jalan (Gudbai)

124 responses to “Keluar Negeri Lagi, Walaupun Cuma ke…

  1. bagus bangetttt!!! subhanallah maha besar kuasaNya!!
    kirain tuh tadinya PNG itu adalah format foto, ternyata Papua New Guinea ya!!? 🙂 langitnya biruuuunya bagus.. lautnyaaaaa… ah dari foto aja udah ngiler.. gimanakalo kesana langsung.. Thanks for sharing ya.. 🙂

    • Wah, kalo saya sih blom bisa bandingin, soalnya blom pernah ke Bau-Bau. Hehe. Iya, spertinya pantai yang keren2 itu adana di ujung Indonesia.

      Iya ni gendutan. Smoa temen bilang bgtu. Wakwak 😉

    • Iya, terawat dan dikembangkan oleh pemerintah.
      Ga ada acara caplok-mencaplok. Papua ama PNG berasa sodaraan, jadi ga perlu nyaplok krn berasa “sama aja”. Di perbatasan Merauke-PNG aja, anak2 dr PNG pada skolah di Merauke. Pake merah-putih juga lho. 😉

  2. waaah mas fier,, telat memberi komentar nih,, haha

    ueeenaaak amat sampean bisa kesituu, nggak ngajak2 lagi :p
    oh ya, disana rawan konflik gk ya fier ? penduduknya ramah gk ?

    dan mengapa kita melepaskan PNG ? *geleng2kepala

    • hihihi..yang ditunggu akhirnya nongol juga
      bilang2 donk kalo mau diajak. 😉
      ga, dsini ga rawan konflik. penduduknya juga ramah
      dari dulu emang PNG bukan milik Indonesia, melainkan jajahannya Australia

      • asiiiiik,, kehadiran ku ditunggu,, ahahha *GR nih,, ahaahhaa

        lain kali ajak ya,, tp tunggu gw udah kerja :p

        lah bukan bagian dari indonesia ya ? ahaha,, *ketauan begonya nih gw,,, ahaha,,

  3. wah.. keren mas… saya jadi ingin makan ditepi pantai kayak gtu.. pasti menyenangkan dan mengenyangkan 😀 bisa2 bukan 3x nambah.. tapi 5x, hihihi

  4. “Ga begitu meyakinkan kan yang nyembelih kambingnya baca kalimat basmalah atau ga.” aseekk mantaf. 🙂
    yang pemandangan pantai itu kayak pernah liat di acara Jejak Petualang. cuantik bangedhh ya. 😛

  5. wuih… asli indah pemandangannya… apa karna fotografernya pinter ambil gambar ya?? hehehehe…….
    cuman PNG kejauhan dari Sumatra neh….

  6. Hiyaaaaa pernah sekali kesitu maret 2013, tp ga punya paspor, jd cuma bisa ngelongok di terminal PNG sambil makan es krim, sumpah panas banget disana, pas tengah hari, pas terik2nya, untung sempet beli jagung rebus sama singkong busuk (tape) jd bisa dimakan buat ganjal perut.. eiya pas disana pas ada ribut2 cewek png triak2, tp ga tau ngomongin apa, pake bahasa antah berantah :p

  7. Pingback: Ber-5 ke Pantai Pasir 6 | Eat, Pray, Travel!

  8. Pingback: Main ke Tetangga Sebelah: PNG | Eat, Pray, Travel!

  9. Wahh..seru artikelnya..saya berencana liburan ke Jayapura tempat keluarga mas,,rencananya juga pengen ke PNG..Kalo dari reviewnya mas ga sampe masuk ke dalam Kota PNGnya yah?kalo bisa bagiin info,,apa aja yang perlu disiapkan buat masuk ke PNG yah mas?yahh minimal 1hari muterin kotanya masuk pagi keluar sore gitu…
    Kalo mas ada info minta tolong yah…Makasih banyak.

    • siapkan visa saja mas, buat surat pemohonan visa yang diketik dalam bahasa Inggris dan ditujukan pada PNG General Consulate at Jayapura (kalau urusnya di kantor konsulat PNG di Jayapura), lampirkan fotokopi paspor yang masih berlaku, pasfoto 2 lembar ukuran 4×6.

      jarak dari pebatasan Wutung ke Vanimo (kota) sekitar 45 menit. transportasi darat tidak terlalu bagus dan tingkat kriminalitas lumayan tinggi. saran saya, sebaiknya main saja di perbatasan, foto-foto. udah keren kok pemandangannya 🙂

  10. Halo. Salan kenal saya dari medan dan sangat tertarik untuk ke papua new guinea spt port moresby. Apakah ada yg ingin kesana?

    • halo, saya juga ingin sekali ke Mosbi. Tapi, saran saya, mas baca-baca dulu deh tentang Mosbi sebelum berniat bertandang ke negaranya 🙂

  11. mau tanya, dari Jaya pura ke PNG jalan darat itu berapa lama ya?
    soalnya ada rencana ke PNG tapi turun di Jayapura dahulu..

Leave a reply to pelancongnekad Cancel reply