“Fier, kamu udah pernah pergi ke perbatasan belum?” tanya bosku dalam logat bule Filipina-nya saat saya hendak pulang kerja. “belum” jawab saya singkat, sambil mengisi absen jam pulang. “Hari Sabtu ini kami mau pergi kesana, kamu boleh ikut kalau kamu mau?” tawarnya lagi. Mendengar tawaran tersebut, bulu kuduk melancongku seketika berdiri. Siapa yang mau nolak diajak jalan-jalan. “Sure!” sahut saya gembira.
Bagaimana tidak menyenangkan?! Saya belum pernah sekalipun ke perbatasan walaupun saya lahir dan tinggal bertahun-tahun di Jayapura. Perbatasan yang saya maksud disini adalah perbatasan darat antara negara Indonesia dengan negara Papua Nugini (PNG) yang terletak di sisi paling Timur Jayapura, tepatnya di Skouw. Udah jadi hal umum bagi warga Jayapura untuk jalan-jalan di perbatasan, dengan kata lain sebagian besar warga di sini udah sering keluar negeri.
Karena saya diundang, jadinya yang tanggung seluruh biaya perjalanan adalah bos, kecuali makan siang. Pagi jam 7 sebelum dijemput pun saya kocar-kacir nyari nasi di rumah sodara karena ibuku belum masak. Walaupun bekalnya hanya nasi putih, tempe, dan ayam sisa opor kemarin, seenggaknya ada yang bisa disantap siang nanti. Hehe. Mobil pun datang menjemput saya tepat 14 menit sebelum jam 8.
Dalam perjalanan, kami melewati kampung Abe Pantai dan Nafri yang mengelilingi Teluk Youtefa yang cantik, lalu menelusuri jalan pedesaan Koya yang penuh dengan kebun dan sawah. Di desa Koya Barat banyak terdapat kolam pemancingan terkenal yang sering disinggahi para penggila pancing. Sedangkan saat memasuki Koya Timur, suasana daerah Jawa Timur sangat terasa disini; banyak terdapat gerbang jalan bergaya khas daerah tersebut (terutama daerah Mojokerto). Mungkin karena ini adalah daerah transmigran.
Saat akhirmya kami mencapai jalan cabang—arah kiri ke pantai Holtekam, arah kanan ke Skouw—yang dilatarbelakangi oleh bukit yang memanjang, saya merasa seperti berada di ujung dunia. Well, ada benarnya juga sih, soalnya saya sedang menuju wilayah paling ujung Indonesia. Rumah-rumah penduduk yang sederhana semakin berkurang saat jalan yang membelah bukit membawa kami berada di antara pepohonan yang lebat. Jalan aspal yang mulus pun semakin membuat mobil kami makin semangat melaju.
Saya dirundung keheranan saat melihat beberapa rumah kayu yang tumbuh bagai jamur kesepian di daerah sarat pepohonan ini. Saya sampai bertanya-tanya sendiri, bagaimana mereka bisa tahan hidup di tempat yang sepi-melepi ini, apa ada listrik untuk menerangi malam, dan apa yang mereka cari di tanah bertabur dedaunan lembab ini. Padahal modernisasi sedang “galaknya” melanda Jayapura. Namun mereka malah lebih memilih tinggal di hutan sunyi ini.
Perjalanan terasa panjang dan lama. Bunyi angin yang menderu di ambang jendela pintu menemani perjalanan kami. Jarang sekali ada mobil yang berpapasan dengan kami. Maklum, tempat ini jauh sekali dari peradaban. Saya hanya melihat seorang pria paruh baya yang melangkah mengikuti sisi jalan. Mungkin ingin berkebun. Entah di sisi hutan bagian mana.
Kami melewati sebuah jembatan besar yang dibangun di atas sungai berair keruh yang lebar, melewati sebuah pos tentara, kembali lagi menelusuri jalan melandai yang membuat jantung mencelos, lalu sampai lah kami di sebuah pasar yang penuh dengan bendera merah putih yang berkibar, yang secara ga langsung menandakan bahwa kami telah tiba di Skouw. Hampir semua kios tutup. Mungkin masih liburan, soalnya kemarin kan baru lebaran.
Mobil terus melaju hingga berhenti di pos tentara lagi. Suaminya bos yang kendarain mobil harus turun dan melapor. Entah disuruh ninggalin KTP atau ga. Seorang pria yang duduk-duduk di samping jalan menghampiri kami dan menawarkan uang 5 Kina (mata uang PNG) dengan harga 15.000. Kalau menurut kurensi terbaru, nilai tukar 1 Kina sebenarnya Rp 4500, tapi pria ini menjualnya lebih murah Rp 1500an.
“Ini untuk kenang-kenangan. Disana (perbatasan) ga ada jasa penukaran. Nanti bisa ditunjukkan sama teman dan keluarga, bukti kalau udah keluar negeri, walaupun cuma ke PNG saja” tawar pria tersebut, tapi ga ada yang tertarik. Lagipula perkataannya menjengkelkan sekali, “bukti kalau udah pergi keluar negeri”?? saya udah pernah kali mas. Dankalau saja dia tahu kalau bos ku itu orang Filipina yang notabene sedang berada di “luar negeri” nya, mukanya pasti merah padam.
Mobil kembali bergerak menuju kantor imigrasi yang bertetangga dengan kantor polisi. Di sini, suami si bos harus turun lagi. Herannya, kami ga perlu menunjukkan paspor. Padahal kan normalnya kalau mau lintas batas negara harus nunjukkin paspor di kantor imigrasi. Administrasi beres, portal dibuka, mobil pun langsung menuju tempat parkir dekat gerbang selamat jalan.
Saat turun dari mobil, cuaca sangat cerah sekaligus terasa panas sekali. Saya segera berjalan melewati gerbang menuju tanah tak bertuan seluas kira-kira 10×50 meter di antara teritori Indonesia dan PNG. Tentu saja di tanah lapang ini ga boleh di bangun apa-apa karena memang bukan milik siapa-siapa, baik itu negara kita maupun PNG. Terdapat sebuah mercusuar Indonesia yang menjulang tinggi dan dilapisi cat putih dengan bercak noda hitam. Tampak sangat klasik dilatari langit biru berawan.
Saat melewati gerbang selanjutnya yang udah mulai berkarat dan menapak di tanah negara tetangga, akhirnya saya keluar negeri lagi, walaupun cuma ke PNG (seperti kata si pria penjual uang Kina). Beberapa orang PNG sedang duduk santai di satu undakan di bawah kanopi. Saya mendengar percakapan mereka, tetapi ga mengerti sama sekali karena bahasa mereka berbeda. Beberapa yang lain berdiri di depan kantor imigrasi sederhana yang bercat biru.
Kami melenggang bebas memasuki wilayah ini tanpa harus melapor di kantor imigrasi. “There’s a beach down there” kata bosku, telunjukya menunjuk ke sebuah rumah kayu reyot. Saya pun berjalan ke arah yang di tunjuknya. Rumah itu ternyata berdiri tepat di samping jurang, dan dari balik celah lumayan-lebar antara pepohonan dan dinding rumah tersebut, tampak garis melengkung hitam-putih yang menjadi batas antara lautan yang biru serta ayunan daun nyiur yang melambai-lambai. Cantik sekali pantainya. Sangat cantik.
Melihat saya yang senyum-senyum sendiri mengagumi keindahan di bawah lembah sana, seorang ibu paru bayah yang sedang duduk di depan rumah kayu reyotnya berkata “ambil gambar dari bawah rumah. Lebih bagus” tawarnya, nyaris tak ada ekspresi di wajahnya “you can take more beautiful pictures from down there. Just Rp 10.000” katanya lagi dalam bahasa Inggris, telunjuknya menunjuk sebuah jalan kecil yang menuju bagian bawah rumahnya. Saya hanya tersenyum, lalu meninggalkan wanita itu. Dari hasil pengamatan sekilasku, orang PNG yang tinggal dekat wilayah perbatasan bisa ngomong 3 bahasa sekaligus: B. Indonesia, B. Inggris, dan Bahasa asli mereka.
Kata bosku, beberapa pedagang PNG menjual sate kambing yang lezat. Harganya kalau di hotel berbintang bisa mencapai 100ribuan, tapi di sini hanya seharga 30ribuan. Wah, kalau saya sih, lezat atau pun ga, tentu aja ga bakalan ikutan beli. Ga begitu meyakinkan kan yang nyembelih kambingnya baca kalimat basmalah atau ga. Masalahnya (bagi si bos), belum ada satu pun kedai sate yang buka. Jadi lah kami menunggu di depan salah satu kedai.
“Can we go down there? To the beach?” tanya saya pada bos. “You can’t. Unless you bring your passport. Itu pun kamu hanya bisa sebentar saja, ga bisa buat menginap” jelasnya. Duh! Jadi nyesal sekali saya ga bawa paspor. Ga nginap juga gapapa, yang penting saya main di pantainya. Melihat tampang saya yang kecewa berat, suami si bos pun sahutin “Ya, kapan-kapan kan bisa ke sini lagi. Yang penting kan dah tahu jalannya”.
Lama-lama bosan juga berdiri nungguin si penjual sate. Saya pun mengajak sohibku untuk motret-motret di bawah rumah kayu reyot. Gapapa lah keluar duit, yang penting bisa nikmatin pemandangan. Setelah membayar, kami pun berjalan menuruni tanah karang yang melandai. Pemandangan dari bawah sini ternyata memang spektakuler, pasir pantai abu-abu gelap yang dihiasi rumah-rumah sederhana penduduk di bawah sana terlihat sangat jelas.
Desa Wutung adalah nama desa di bawah sana. Penduduknya tinggal di pesisir pantai mereka yang terkenal indah. Buih yang memutih menjadi highlight pasir dan batu karang yang hitam. Ombak-ombak yang besar pun menghantam bibir pantai, seperti menantang siapa pun untuk berselancar. Pohon kelapa yang berayun-ayun terlihat begitu kontras di sisi biru laut yang berkilauan. Saya terpanah dengan pemandangan ini, tetapi sekaligus jengkel sendiri, pantai seindah itu ada di depan mata. Before my VERY eyes! Tapi kenapa ga bisa ke sana?! pikir saya jengkel. Kenapa sih desa sekeren ini ga masuk wilayah Indonesia?! Kenapa harus jadi milik PNG?!geram saya jengkel, bukan refleksi sikap nasionalis sebenarnya, melainkan lebih ke alasan “kan saya bisa bebas main di pantai itu kalau masuk wilayah teritori Indonesia”.
Lama-lama tempat ini seperti berubah jadi tempat panggangan saking panasnya. Padahal ada jejeran perbukitan yang sangat teduh dan dilapisi awan yang melayang rendah tak jauh dari tempat ini. Kulit saya sampai perih dan memerah (nasib seorang dengan kulit gampang terbakar). Kalau di perhatikan dengan seksama, di salah satu titik di jejeran bukit ada bendera Indonesia yang terpampang lebar, namun terlihat kecil karena tenggelam dalam badan bukit. Mungkin tentara Indonesia yang buat.
Akhirnya si bos menyerah juga setelah satu jam menunggu penjual sate yang ga datang jua. Dan saya pribadi udah ga tahan menadah panas di negara ini. Kami pun kembali ke parkiran dan langsung tancap gas. Di akhir perjalanan, kami singgah di salah satu tempat pemancingan di Koya Barat. Bukan untuk memancing, tapi untuk makan siang. Suami si bos pun memesan lalap mujair (makanan favorit orang Jayapura) beserta lauk-pauk lainnya. Hehehe, saya pun 3 kali nambah (busset) saking laparnya. Tengkyu bos! 😉
Ternyata ga semua daerah perbatasan itu kurang perhatian dari pemerintah, contohnya ya Skouw ini. Walaupun terhitung jauh dari peradaban, tapi fasilitasnya terhitung memadai. Akses menuju Jayapura kota mulus dan bagus, pasar pun dibuat sebaik mungkin agar orang PNG betah belanja, listrik pun tersedia. Ya, beribu terima kasih dariku untuk pemerintah yang udah berusaha untuk membangun perbatasan Indonesia-PNG di Jayapura selayak mungkin untuk dihuni. Mudah-mudahan hal ini juga bisa terjadi di perbatasan darat lainnya. Dan, pada akhirnya, PNG pun menjadi negara ke 4 yang telah saya kunjungi, walaupun hanya sebatas di perbatasan. 😉
Buaggus2 semua foto2nya apah lagi lautnya biru banget pingin nyempluk, tapi ndak pnya passport 😀
Hihihi..iya tuh, pntainya emang ngilerin *gubrak#
lebih naas nasib saya; punya paspor tp tetep ga bisa nyebur di pantainya krn lupa bawa XD
Hahaha.. asikasik keluar negeri..
Ooops ! perbatasannya ;P
bener keren yaaann pantaiinyaaaaa…
Akhirnya nongol juga, 😉
Pasti W ajak ke sini suatu hari nanti 😀
keren ya gan orang yg tinggal di perbatasan bisa ngomong 3 bahasa…
benar benar indah gan pemandanganya…
Hehe, sbenarnya tergantung kebiasaan aja sih mahir berbahasa itu. Banyak temen saya yang bisa ngomong 3 bahasa (Sunda, B. Indo, dan Inggris) hehe
TFS.. asli ini bagus banget
belum kesampean sampe Papua.. ga tau bisanya kapan
jadi baca cerita temen lain sangat membantu 🙂
Iya, saya aja sampe terpanah. Sayang banget knp pantai sekeren itu ga masuk teritori Indonesia.
kunjungan balik …
wah asyik bisa sering-sering keluar negeri …
Iya nih gan, tapi perjalanan kesananya terlalu jauh gan, 70 kilometer ke atas lah 😉
Gila ya cantiknya daearah perbatasan ini. yang moto jg pintar. Jadi bahasa png dan papua sdh beda ya Mas, padahal wilayahnya masih berdekatan.
Makasih pujiannya. Iya, bahasa mereka sudah beda, sudah tercampur dengan bahasa Inggris, liat aja di bbrp foto, ada kata “gudbai”, “welkam”.
bagus bangetttt!!! subhanallah maha besar kuasaNya!!
kirain tuh tadinya PNG itu adalah format foto, ternyata Papua New Guinea ya!!? 🙂 langitnya biruuuunya bagus.. lautnyaaaaa… ah dari foto aja udah ngiler.. gimanakalo kesana langsung.. Thanks for sharing ya.. 🙂
Iya, hari itu memang lagi cerah, makanya semuanya terlihat ngejreng. Pantainya memang sangat menggoda untuk diceburin *gubrak#..
Makasih mba dah mampir 😉
ngeliat panorama pntainya sngguh luar biasa…
Iya gan, mmg ruarbiasa..;D
pantainya keren gilaaa.. bahkan yang di baubau pun kalah nih keknya..
emang makin ke timur makin cantik ya pantainya..
betewe.. gendutan ya fier?
Wah, kalo saya sih blom bisa bandingin, soalnya blom pernah ke Bau-Bau. Hehe. Iya, spertinya pantai yang keren2 itu adana di ujung Indonesia.
Iya ni gendutan. Smoa temen bilang bgtu. Wakwak 😉
waaa bagus banget pemandangan nya yaa 😀
iya gan, sangat bagus 😉
keren foto-fotonya… saya pengen ke Papua dulu deh, nanti baru setelahnya ke PNG
yoha gan, hayo melancong ke Papuam 😉
ya ampun pantainya bagus banget, biruuuuuuuuuuu
keren deh tempatnya 😀
iya, saya juga sampai terpana pas liat pantainya 😉
Asiiikk nih blognya. Ijin follow and salam kenal yaaa…
makasih,.
salam kenal juga 😉
langitnya biru banget Sob…..
mantab2 fotonya……
PNG kayak format gambar hehee
iya, beberapa temen blogger juga ngira PNG yang saya ceritakan itu format gambar
😉
heheee…
untungnya saya baca postnya jadi gak OOT deh.. 😛
😀
hehe..itu lah manfaatnya membaca :b
oke terima kasih ya Sob..
jadi tau welcomenya disana tulisannya gitu. heee
sama-sama sob.
iya, karena mereka jajahannya Australia, makanya bahasa terpengaruh dengan bahasa Inggris. Welcome jadi Welkam, Goodbye jadi Gudbai. ya, hampir sama kasusnya seperti kata Imigration jadi Imigrasi dalam bahasa Indonesia
huaaa…pengen. masih asri banget 🙂
hehehe..ayo melancong ke PNG 😀
mungkin ada yang ingin berbaik hati memerjalankan saya kesana
Nabuuuuunnngggggg
salam kenal juga mas, terima kasih atas kunjungannya. wah keren ya alam disana
makasih nih bu mau berkunjung balik 😉
iya, alamnya masih asri dan perawan
makanya keren sekali 😀
wow …. fotonya cantik cantik, jadi pengen ke sana 🙂
makasih mba Eli dah mampir.
saya bantu amin kan deh mba bisa berkunjung ke sini suatu masa nanti
amin 😉
wow … makasih sekali ya doanya 🙂
sama-sama mba 😉
siip 🙂
Subhanallah.. pemandangan yang indah 🙂
Ternyata perbatasan di situ terawat ya. Ehm, gak ada acara caplok mencaplok wilayah kan disana ya?
Iya, terawat dan dikembangkan oleh pemerintah.
Ga ada acara caplok-mencaplok. Papua ama PNG berasa sodaraan, jadi ga perlu nyaplok krn berasa “sama aja”. Di perbatasan Merauke-PNG aja, anak2 dr PNG pada skolah di Merauke. Pake merah-putih juga lho. 😉
Asyik jalan-jalan ke luar negeri…….dan pemandangannya keren banget
Iya, apalagi harus nunggu bertahun2 utk bisa kesana.
Haha
iya, ka, yisha bingung kalo keluar negri, gimana makannya? kambing , sapi, daging halal…….hahahhaahahaaaaaaaaaa………
Iya nih, harus puasa makan daging kalo lg berkunjung ke negara di luar kategori negara muslim. 😉
Pengalaman yang langka dan nggak semua orang bisa merasakannya….. 🙂
Makasih dah balas kunjung.
Iya, saya slalu berusaha utk merasakan sensasi dari pengalaman yang menarik itu.
seru sekali ya tulisannnya
salam kenal
Makasih Mba Tetik
Salam kenal juga 😀
wah PNG, negara tetangga yang kalau saya dengar2 mempunyai angka penderita HIV AIDS cukup tinggi itu ya, eh mereka masih satu ras ma saudara kita di papua ya
Iya, bisa dibilang begitu. Makanya ada himbauan besar di perbatasan. Tingkat kriminalitas, khususnya di Port Morresby, juga tinggi. Iya, mereka masih satu etnis dengan kami di sini.
waaah mas fier,, telat memberi komentar nih,, haha
ueeenaaak amat sampean bisa kesituu, nggak ngajak2 lagi :p
oh ya, disana rawan konflik gk ya fier ? penduduknya ramah gk ?
dan mengapa kita melepaskan PNG ? *geleng2kepala
hihihi..yang ditunggu akhirnya nongol juga
bilang2 donk kalo mau diajak. 😉
ga, dsini ga rawan konflik. penduduknya juga ramah
dari dulu emang PNG bukan milik Indonesia, melainkan jajahannya Australia
asiiiiik,, kehadiran ku ditunggu,, ahahha *GR nih,, ahaahhaa
lain kali ajak ya,, tp tunggu gw udah kerja :p
lah bukan bagian dari indonesia ya ? ahaha,, *ketauan begonya nih gw,,, ahaha,,
hehehe..bukan lah, dari dulu emang ga pernah jadi milik Indonesia
melainkan jajahannya Australia. 😀
wah.. keren mas… saya jadi ingin makan ditepi pantai kayak gtu.. pasti menyenangkan dan mengenyangkan 😀 bisa2 bukan 3x nambah.. tapi 5x, hihihi
iya. dari kecil saya suka sekali momen makan di tepi pantai,
dan pasti berkali2 lipat lebih menyenangkan saat makan di pantai ini. haha
gile pantainya keren banget
YOha, memang keren bngt pantainya 😉
kerennn,
pantainya keren gila… bikin ngiler… kalo yg di papua sendiri ada yg kaya gini juga gak?
ini mengingatkan saya pada pantai pasir panjang di tual….
ada donk, coba lihat artikel saya yang lain..hehe
wah, saya sendiri belum pernah ke Tual,
hanya lewat aja pake kapal
itu pun udah belasan tahun lalu..hehe
Kereeen mas bro… ajak dunk 🙂
hahaha..datang donk ke Jayapura 🙂
Berarti aku cocok ya kalo ke Jayapura. Aku juga paling suka ikan mujair, hihi..
Lama banget sih nggak denger kabar kamu, Fir 🙂
ayo datang ke Jayapura, entar saya ajak keliling2 disini sampai klenger..hehe
iya nih, berbulan2 ga ngeblog. jadinya lama ga berkabar
😀
Daerah perbatasan dengan Papua Nugini aman-aman aja kan?
aman-aman aja masbro. 😀
Desember kita kesana lagi yukkk… 🙂
wokehhh..
kalo bisa langsung main ke pantainya
😀
heheh… mau bangettttt… 😀
okeh deh 😀
senengnyaaa.. pantainya masih bagus gitu ya.. 🙂 seger liatnya.
iya bagus sngat, tapi sayang saya ga bisa “nyicipin”
hehe
“Ga begitu meyakinkan kan yang nyembelih kambingnya baca kalimat basmalah atau ga.” aseekk mantaf. 🙂
yang pemandangan pantai itu kayak pernah liat di acara Jejak Petualang. cuantik bangedhh ya. 😛
ada ribuan pantai di Indonesia. Jadi bisa muncul kemungkinan sama rupa. hehe. Saya sangat berharap bisa bercebur ria di pantai itu.
Asyiik.. membaca blog ini membuat saya jadi tambah banyak tahu tentang Papua. Dan makin penasaran dengan panorama-panoramanya…
Yoha mba. Sengaja menulis banyak2 tentang Papua, supaya banyak yang makin mengenalnya, 😉
wow…. I like it. Ujung timur Indonesia……………………………………………….
wah, saya juga berharap demikian, tapi nyatanya itu bukan milik Indonesia, tapi milik negara lain (PNG)
sering sering posting foto dari papua yah ? saya yang belum pernah kesana kan bisa ikut menikmati.
yoha. Sebagai seorang asli Jayapura, rasanya saya perlu mengekspos lebih tentang tanah kelahiranku.
Sip, saya ikut senang anda bisa menikmati pemandangan di Jayapura 😀
saya punya beberapa teman di Jayapura. Kami sering SMS dan telpon. Dia ceritakan keelokan negeri papua,
Sayang dia gak ngeblog, jd hanya ada di angan angan.
Alhmadulillah kini ada blog anda, yang menginspirasi.
Sekali lagi terimakasih yah.
Sama-sama. Saya juga senang Mas bisa menikmati suguhan di blog saya. Mengepos artikel tentang Jayapura juga adalah suatu bentuk usaha untuk menghilangkan stereotip “daerah tertinggal” yang telah lama melekat pada Papua. 😀
Tugas kita untuk berbicara yang benar.
tentu mas 😀
makasih sarannya.
yups, sama sama yah
😀
tmbah lagi poto nya dunk…pantai dari deket..d zoom kalo perlu..hehe..salam knal ya
salam kenal juga
hehehe, stok fotonya udah habis, jadi ga bisa diperbaharui
😆 🙂
hehehe…ntar kalo adaq yang oke2 lagi, poto lagi dunk//…bagus2 soalnya 😀
Wah, saya juga berharap bisa main ke pantainya. Tapi ga bisa langsung nyelonong gitu, harus melewati bagian imigrasi.
Padahal kalau bisa sampai ke bawah sana, stok foto ga bakalan muat untuk di tampilkan di artikel ini. haha
emg g bisa ngendap2 lewat semak2 atau berenang d laut gitu (nyelam)???
(kalo saya pasti akan melakukannya,,emang dasar gile..hehehe)
Wah, namanya perbatasan, pasti dijaga ketat oleh tentaranya mereka. Entar dikira imigran gelap. hahaha. Masalahnya posisi saya di atas bukit, dan pantainya jauh di bawah sana. haha
hoooh…iy..pasti susah! hmm….bujuk aja tentaranya..ajak kenalan, ngobrol enak, ngopi2 trus bilang kalo km wartawan yg mw taking artikel dan jadiin dia narasumber yg mukanya bakalan dterbitin buat majalah GADIS..hehehe
Hahaha, kalau ada cara lebih aman mah ga perlu pakai trik gituan. Tinggal bawa paspor aja, trus lapor di imigrasi, tapi dikasih batas waktu. Sayang waktu itu saya perginya bareng bos dan lupa bawa paspor. Kalo pergi bareng sahabat sendiri, ga pakai AIUEO, lansung nyebur ke pantainya. Hahaha
aiiii…serunyaaa…coba aku disana..bakalan ada donal bebek deh 😀
Hahaha..bisa aja nih. Btw, namanya siapa sih? Luxi atau 89? Haha
hahaha…bukan..
suci lestari luxya..
zaman kecil2 sih dpnggil Cici
pas SMA dpnggil Suci ‘n g tw tiba2 aja ketua kelas pas zaman kampus, dipanggil Luxya..trus anak2 fb yg kelewat gaul ngasih nama Luxi..trserah deh mau panggil apa..asal jngn Lestari aja..(Lestari itu bahan olok2 d kmpung saya, LESTARI=Lisuik Tagang tak tau diri..atau si Kurus Tegang NGgak tau Diri..ckck)
saya panggilnya apa nih?
Waduh, sadis banget tuh olokannya. Saya panggil Luxi aja lah, biar sama kayak domainnya. Haha. Panggil saya Fier. 😉
ok deh Fier…:D
nama LUxi itu jg, Saya suka sih..hehehe
hahaha. oke deh Luxi
senengnya bisa jalan2 liat pantai2 yang indah… pengen banget liat PNG langsung hehehehe:)
hehehe. benar sekali mba, itu adalah pengalaman yang menyenangkan 😉
wuih… asli indah pemandangannya… apa karna fotografernya pinter ambil gambar ya?? hehehehe…….
cuman PNG kejauhan dari Sumatra neh….
mantab lagi om… dari tangerang jauh ya om..hehe
Hiyaaaaa pernah sekali kesitu maret 2013, tp ga punya paspor, jd cuma bisa ngelongok di terminal PNG sambil makan es krim, sumpah panas banget disana, pas tengah hari, pas terik2nya, untung sempet beli jagung rebus sama singkong busuk (tape) jd bisa dimakan buat ganjal perut.. eiya pas disana pas ada ribut2 cewek png triak2, tp ga tau ngomongin apa, pake bahasa antah berantah :p
Seruuu banget….. Salam kenal ya. http://sayabackpacker.wordpress.com/2014/10/26/bebas-khawatir-dan-bebas-biaya-ke-luar-negeri-tips-bagi-para-backpacker-pemula/?wref=tp
salam kenal juga
Pingback: Ber-5 ke Pantai Pasir 6 | Eat, Pray, Travel!
huaaa, ke perbatasan papua nugini bukan cuma~ tapi keren ituuu 😀 saya juga pengen kalau ada kesempatan 😀
hahahahahaha, ya walaupun cuma bisa merasakan sedikit teritori mereka, tapi berasa jauh sekali dari Indonesia *tepokjidat*
Pingback: Main ke Tetangga Sebelah: PNG | Eat, Pray, Travel!
Wahh..seru artikelnya..saya berencana liburan ke Jayapura tempat keluarga mas,,rencananya juga pengen ke PNG..Kalo dari reviewnya mas ga sampe masuk ke dalam Kota PNGnya yah?kalo bisa bagiin info,,apa aja yang perlu disiapkan buat masuk ke PNG yah mas?yahh minimal 1hari muterin kotanya masuk pagi keluar sore gitu…
Kalo mas ada info minta tolong yah…Makasih banyak.
siapkan visa saja mas, buat surat pemohonan visa yang diketik dalam bahasa Inggris dan ditujukan pada PNG General Consulate at Jayapura (kalau urusnya di kantor konsulat PNG di Jayapura), lampirkan fotokopi paspor yang masih berlaku, pasfoto 2 lembar ukuran 4×6.
jarak dari pebatasan Wutung ke Vanimo (kota) sekitar 45 menit. transportasi darat tidak terlalu bagus dan tingkat kriminalitas lumayan tinggi. saran saya, sebaiknya main saja di perbatasan, foto-foto. udah keren kok pemandangannya 🙂
Halo. Salan kenal saya dari medan dan sangat tertarik untuk ke papua new guinea spt port moresby. Apakah ada yg ingin kesana?
halo, saya juga ingin sekali ke Mosbi. Tapi, saran saya, mas baca-baca dulu deh tentang Mosbi sebelum berniat bertandang ke negaranya 🙂
Asyiknya gratis ke luar negeri. Mau juga dong diajakin ke PNG gratis #habiscantikbanget #bujukbos #maksa #hahahaha..
hahahahahhaa…dua bulan terakhir saya udah bekali2 bolak/i PNG 🙂
mau tanya, dari Jaya pura ke PNG jalan darat itu berapa lama ya?
soalnya ada rencana ke PNG tapi turun di Jayapura dahulu..
naik mobil dari pusat kota sekitar 1.5 jam. dari Bandara Sentani juga sekitar 1.5 jam