7. Api Cinta

Hari Kedua (2/18)

Siapapun pasti tahu kisah cinta Jack dan Rose yang berakhir tragis dalam film Titanic. Perjalanan kasih asmara mereka yang sangat “panas” dan menggairahkan menjadi bukti kasih abadi, walaupun pada akhirnya mereka tak pernah bersama. Cinta yang menyatukan keduanya, pun yang memberaikan. Cinta seperti mempunyai kekuatan ajaib, yang hanya bisa dirasakan oleh para pecinta. Tak heran lah bang Jack, dengan cintanya yang luar biasa besar, bisa bertahan lumayan lama di dalam air, tepat di sisi Rose yang tertelengkup kedinginan di atas kayu, sesaat setelah kapal raksasa itu tenggelam. Padahal perairan tersebut pasti benar-benar dingin, sampai-sampai ada bongkahan es nangkring di situ. Apakah cinta memang “hangat” dan “menghangatkan”? Dalam arti sebenarnya? Buktinya pasangan di Continue reading

6. Frostbite

Hari Kedua (2/18)

Beberapa tahun lalu saat masih kuliah, saya sering kali mengunjungi Gramedia di Botany Square, Bogor—tempat menyenangkan untuk menghabiskan malam. Kayaknya yang kerja di sana sudah hafal tampangku, secara hampir 4 kali seminggu rutin ke sana. Dan saya selalu menuju koridor yang sama; komik. Ini sebenarnya agak memalukan, tapi jujur saja, komik yang saya baca adalah Doraemon. Tiap seri yang ada di situ telah saya lahap semua ceritanya, padahal (lebih memalukan lagi) beli satu pun tidak. Dari sekian banyak yang dibaca, ada satu fragmen cerita yang tiba-tiba muncul di pikiranku saat ini; kala Nobita dkk bertandang ke planet setan. Di sana mereka harus melewati semacam daerah kutub. Untuk melawan suhu ekstrim, Doraemon mengeluarkan krim adaptasi yang dapat membuat pemakainya mampu menyesuaikan suhu tubuh dengan lingkungan. Dengan kata lain, semakin dingin hawa, semakin hangat mereka. Seandainya krim itu benar-benar ada dan dijual bebas dipasaran¸ ratapku.

Ini kedua kalinya saya berfantasi tentang kartun menjadi kenyataan—mungkin bukan sengatan panas matahari saja yang bisa bikin orang Continue reading

4. keDINGINan

Prapemberitahuan:

Perjalanan ini sejatinya dilakukan oleh dua orang pelancong, yaitu saya dan teman. Namun, dengan alasan tertentu, kami sepakat untuk tidak memasukkan satupun hal mengenai teman saya dalam jurnal perjalanan kali ini. Karena itu lah, cerita ini saya susun seakan-akan hanya saya seorang yang menjalaninya, dengan tanpa mengurangi atau melebihkan esensinya, walaupun ada perubahan dari sisi penokohan. Semoga pembaca menikmati.

(Hari Pertama: 1/18)

Saya sedang berada di atas bus, di tempat yang sama tepat di belakang supir. Orang-orang yang duduk di bangku lainnya pun entah kenapa juga orang yang sama. Muka mereka seperti berbayang, tapi jelas saya masih mengenali wajah-wajah itu. Déjà vu? Sang supir tiba-tiba membanting setir memasui jalan raya, dan di sana lah ranselku, masih tertinggal di samping kursi pengemudi, mulai bergoyang tak seimbang. Tak mau kejadian memalukan itu Continue reading