3. Sambutan (Terlampau) Hangat

Prapemberitahuan: Perjalanan ini sejatinya dilakukan oleh dua orang pelancong, yaitu saya dan teman. Namun, dengan alasan tertentu, kami sepakat untuk tidak memasukkan satupun hal mengenai teman saya dalam jurnal perjalanan kali ini. Karena itu lah, cerita ini saya susun seakan-akan hanya saya seorang yang menjalaninya, dengan tanpa mengurangi atau melebihkan esensinya, walaupun ada perubahan dari sisi penokohan. Semoga pembaca menikmati.

 (Hari Pertama: 1/18)

Saya bukan lah pelancong ulung yang sudah keliling di lebih dari 100 negara, juga bukan petualang handal yang keluar masuk hutan berbekal parang panjang. Saya hanya lah seorang penikmat jalan-jalan tanpa peduli mengusung embel-embel backpacker, hitchpacker, apapun itu istilahnya. Saya adalah seorang pelancong. Tak lebih. Karena bagiku melancong bukan hanya wadah untuk membuktikan siapa yang bisa menjelajahi Turki dengan biaya terendah, ataupun tentang siapa yang rela tidur di hostel reyot, bahkan di stasiun, hanya untuk meminimalisir pengeluaran. Bagiku, pengalaman serta nilai-nilai yang didapat saat menjalani sebuah petualangan, itu lah yang berarti—Bukan tentang bagaimana kita menjalaninya, tapi mengenai apa yang dipelajari.

Pundakku sudah mulai sakit memanggul ransel yang saat ini tengah kusandarkan di dinding tram. Terutama bahu kiri. Sembari tanganku memijat ringan, saya periksa lagi rincian perjalanan. Petugas tram baik hati itu membolehkanku naik kereta lagi tanpa harus membayar. Mungkin dia kasihan karena saya sudah salah tujuan. Situasi ini memang sangat tak terduga, tapi dari lubuk hati yang paling dalam, entah mengapa, saya sudah tahu pasti akan terjadi. Lagipula, ini hal yang biasa terjadi kala melancong, bukan? Untung lah pengalaman jalan-jalan selama ini membantuku untuk tidak panik dan menganggap kesialan itu sah-sah saja terjadi. Tinggal bagaimana saya menyikapinya.

Jalur tram makin menuruni bukit melewati beberapa pemberhentian sebelum akhirnya kami menyeberangi Selat Bosphorus. Saya langsung tahu ini adalah jembatan Galata berkat tongkat pancingan yang berjejer dari ujung awal hingga akhir jembatan. Indah sekali. Persis seperti yang ada di kartu promosi wisata. Tram terus bergerak hingga akhirnya tiba di stasiun terakhir, Kabataş. Seluruh penumpang segera turun dan membaur di pintu keluar. Saya menghampiri seorang petugas dan menanyakan perihal Besiktaş. Jarinya kemudian menunjuk kumpulan bus tak jauh dari tempat kami berdiri. Saya pun mengikuti petunjuknya menyeberangi jalan.

Di dasbor bus-bus besar tersebut terpampang nama-nama tempat yang akan disinggahi. Saya menghampiri salah satunya, “Besiktaş?” tanyaku pada supir. Dia hanya mengangguk. Dan sesegera saya naik, bus pun jalan. Saya mengambil 2 token dari dalam kantong, lalu memberikannya pada sang pengemudi. Tapi tangan kanannya melambai-lambai, kemudian menyebut-nyebut sesuatu yang terdengar seperti istanbulkart. “Maaf, saya tidak punya istanbulkart. Hanya ini”, kataku. Pria berkumis itu pun meneriakkan sesuatu pada penumpang di belakang, dan salah satunya menghampiri kami di depan, lalu menempelkan kartunya di mesin pemindai. “5 Liras” katanya padaku. Saya segera mengambil uang dari dompet dan memberikan padanya “terima kasih” kataku. Dia pun berlalu kembali ke tempat duduknya.

Saya mengambil tempat di bangku paling depan, masih tertegun tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tidak mungkin saya bisa lebih sial daripada ini, pikirku sambil menghela napas, tak sadar ranselku masih tertaruh di samping kursi supir. Saat bus bermanuver memasuki jalan raya setelah mengangkut penumpang, ransel saya mulai berguling menuju pintu yang masih terbuka, kemudian terhempas ke jalan. Saat itu saya tidak bisa bergerak saking kagetnya, cuma terpana melihat ranselku yang terpental. Supir langsung rem mendadak. Dan saya segera berlari keluar menuju ranselku yang berada tepat di hadapan sebuah mobil. “Maaf, maaf” kataku, kemudian mengambil ransel dan kembali ke dalam bus. Tiap pasang mata di sana seketika tertuju padaku, dan saya tak punya pilihan lain selain tersenyum untuk menyembunyikan rasa malu.

Saya berusaha bersikap tenang, walaupun jantung berdegup kencang serta tanganku bergetar. Sungguh sambutan selamat datang yang luar biasa dari Istambul. Tidak habis-habis sial saya, dan ajaibnya semua terjadi secara beruntun. Lebih baik saya bersiap diri. Siapa tahu mbahnya sial sedang menunggu saya di halte tujuan. “Besiktaş!” teriak sang supir sesaat sebelum menepikan kendaraan di halte. Karena banyak penumpang yang naik, saya jadi kesulitan menuju pintu keluar. Dan pas saya mau turun, pintu tiba-tiba tertutup, OH TUHAN!! Sial apa lagi ini!! “Bisa buka pintunya??” teriakku pada pak supir, yang langsung membuka pintu.

Setelah melompat turun, saya buru-buru cari tempat duduk di dalam taman. Sebisa mungkin jauh dari jangkauan kesialan. Saya segera meraih rincian perjalanan dari tas untuk melihat letak penginapan. Dari bentuk segitiga di sepenggal peta yang terlihat, bentuknya mirip dengan taman ini, dan pasti hotelnya tidak jauh. Saya pun mulai melihat sekeliling, mencoba mengira-ngira letak hotel tersebut. Dan tiba-tiba keberuntungan ada di depan sana: Pusat Informasi Turis. Hmm, dewi fortuna pasti asyik mabuk semalaman sampai terlambat sadar untuk memberiku keberuntungan. Segera saya panggul ransel, lalu melangkah menuju kantor kecil itu.

“Bisa beritahu saya dimana letak hotel ini?” Tanyaku pada petugas perempuan muda yang duduk dibalik layar komputer. “Tentu saja” jawabnya, kemudian mempersilakanku duduk. Seraya dirinya mencari posisi hotel di peta Google, saya pun melihat-lihat beberapa peta kota dan transportasi yang dipajang di rak, “Boleh saya mengambil ini?” tanyaku, disambut oleh anggukannya. Setelah menemukan yang dicari di peta, dia pun menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk deretan bangunan di balik jendela. “Terima kasih” kataku, kemudian berlalu mengikuti petunjuknya. Setelah menyeberang dan mendaki jalan menanjak, saya pun menemukan Royal Suites Besiktaş. Beuh, rasanya rasa lelah langsung luntur saat melihat plang hotel tersebut tergantung di muka bangunan.

“Selamat siang” sapaku pada seorang pria di balik meja resepsionis yang lebih mirip bilik wartel jaman SMP. “Saya sudah memesan kamar, silakan lihat” kataku sambil menyodorkan beberapa carik kertas bukti pemesanan. “Bayar tunai” katanya dalam bahasa Inggris yang patah-patah, membuatku mengernyitkan dahi. “Maaf, tapi saat memesan saya mengambil pilihan untuk membayar dengan kartu kredit” sahutku sambil menunjukkan buktinya di atas kertas. “Mesinnya tidak bekerja. Hanya tunai” katanya sambil tersenyum menyebalkan. Dasar si….ah sudah lah, menyebut kata itu saja saya malas. “Oke”, kataku, lalu mengeluarkan beberapa pecahan Lira. Dia pun memberikan kunci dan mempersilahkan saya naik ke lantai 3 menggunakan lift.

Sesampainya di kamar, saya langsung menghempaskan diri di atas kasur. Saya lelah fisik dan psikis.

Yang saya inginkan saat ini hanya lah istirahat……

8 responses to “3. Sambutan (Terlampau) Hangat

  1. Bener2 hari yang melelahkan 😂😂.. tp ngomong2 kagak lapar apa selama perjalanan menuju hotel. .?

    Hahaha.. sebenarnya bukan hanya tentang perjalanan saja, tapi proses menuju perjalanannya tersebut. Pas sampe hotel pasti langsung “uaaaaa…. Akhirnya sampe hotel juga” Ada kepuasan tersendiri, bisa melewati chapter ini 😁😂

    • Lelah super sebenarnya, apalagi sambil memanggul ransel, tapi karena jantung fokus cari penginapan, lelahnya jadi tidak begitu terasa.
      Bener banget kata-katamu, proses menuju tujuan itu yang sangat berharga. Penuh perjuangan. Jadinya pas tujuan tercapai, terbayar dah rasa capeknya 😀

Yang dah nyasar kesini, jangan lupa tinggalkan jejak ;-)

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s