Main ke Tetangga Sebelah: PNG (Bagian 2)

SAMSUNG CAMERA PICTURESEntah dari umur berapa hingga SMA, saya anehnya tidak suka tidur di kasur. Saya lebih memilih menjalani malam di atas bangku panjang yang sudah menjadi tempat tidurku bertahun-tahun. Yang saya sukai sebenarnya bukan berbaring di atas sponsnya yang sudah tipis, melainkan pemandangan pagi yang didapat saat terjaga. Tepat saat membuka mata, dari balik jendela, saya disambut oleh daun-daun kekuningan yang berguguran di awal hari. Biasanya saya habiskan sepuluh menit hanya untuk melihat rimbunan pepohonan jauh di sisi bukit sana menggugurkan daunnya yang renta. Bahkan terkadang, saya merasa pohon-pohon itu sengaja menahan setiap helai dedauannya yang telah menguning, hanya untuk memberiku atraksi ala musim gugur lebih lama saat terbangun di hari Minggu. Tapi pagi ini, sensasi itu berganti oleh kicauan burung yang saling beradu dari dalam hutan. Hawa dingin khas pagi pun membuatku malas membuka mata. Tok, tok, tok..terdengar ketukan pelan “bangun, tukang tidur” bisik suara di balik pintu. Walau masih terlalu malas untuk bangkit, saya pun memaksa diri “oke”, sahutku, lalu membuka pintu.

SAMSUNG CAMERA PICTURES

Mba Filipin ternyata sudah segar plus harum, aroma khas selesai mandi. Saya pun mengambil handuk, sabun dan kawan-kawan, lalu menuju kamar mandi. Kemarin benar-benar hari yang melelahkan. Keliling kota serta ngobrol berjam-jam membuat kepalaku terasa berat semalam. Untung lah pagi ini saya bangun dengan badan yang lebih enteng. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, kami rapikan tempat tidur, lalu menenteng tas menuju lantai atas. Bang Nugi belum tampak. Jadi lah saya dan Mba Filipin duduk-duduk di balkoni sambil menikmati hawa pagi yang sejuk. Saya selalu ingin punya rumah seperti ini; minimalis tapi terasa lega, ditambah pemandangan laut dan hutan di lembah. Ajib dah! Dan bagian yang paling saya sukai adalah dapur, dengan minibar yang memisahkannya dengan meja makan. “Pagi” sapa Bang Nugi yang baru saja keluar dari kamar. Dia langsung menuju dapur, memasukkan air ke teko, lalu menaruhnya di atas kompor yang telah dinyalakan. Ah, terima kasih Tuhan dia masih ingat nikmatnya menghirup kopi dan teh di pagi hari—bukan bir 🙂 Saya pun mengeluarkan bolu dari kulkas yang kemarin kami bawa dari Jayapura.

SAMSUNG CAMERA PICTURESSAMSUNG CAMERA PICTURES“Ada mobil sewaan di perbatasan yang bisa mengantar kalian ke Jayapura”, kata Bang Nugi setelah menyesap kopi pahitnya. Dia bersedia mengantar kami, walau hanya ke perbatasan karena masih banyak urusan di Vanimo. “Ga perlu bang. Ada teman yang mau jemput” kataku, kedua tangan merapati cangkir untuk meraih sensasi hangat. “Sudah dihubungi?” tanya Bang Nugi, kaos dalam putih yang dia kenakan entah kenapa membuatnya tampak sepuluh tahun lebih tua ketimbang terakhir melihatnya semalam. “Sudah. Mereka jemput jam 12” sahut Mba Filipin, kemudian menggigit potongan bolu kejunya. “Oke lah. Sebaiknya kita jalan jam 10. Kalian masih mau belanja, kan?” Tahu saja pria ini, pikirku. Tentu kami ingin beli beberapa penganan yang tidak bisa ditemui di Indonesia. “Nanti mampir saja ke toko saya yang kemarin kita sambangi” Lanjut Bang Nugi. “Boleh-boleh. Nanti dirimu bayarin pakai Kina, baru kami ganti pakai Rupiah” sahut Mba Filipin. Bang Nugi pun mengiyakan. Faktanya, selain punya toko, pria ini juga punya jasa penukar uang. Sungguh! Pebisnis Indonesia jaya raya di Vanimo.

SAMSUNG CAMERA PICTURES

SAMSUNG CAMERA PICTURES

SAMSUNG CAMERA PICTURES

Tepat jam sepuluh kami bertolak dari rumah. Kali ini Bang Nugi membawa kami ke arah yang berbeda. Katanya ada spot menarik yang lupa ditunjukkan pada kami kemarin. Tak lama kemudian mobil berhenti di sisi jurang yang langsung menampilkan pusat kota. Pelabuhan, bandara, pertokoan, serta keriuhan orang-orang di pasar terlihat jelas dari ketinggian. Tampak pesawat Air Nugini yang hendak lepas landas menuju ibukota di Selatan. Setelah mengambil beberapa foto, mobil pun kembali meluncur menuruni bukit. Toko Bang Nugi, entah namanya apa saya lupa, lumayan besar, menempati satu ruko bagian bawah. Saat melihat jejeran produk yang dijual, banyak yang asli PNG, impor dari Australia, serta tak ketinggalan dari Indonesia. Kami mengambil beberapa makanan kaleng, dan tentu saja kornet sapi PNG yang sangat terkenal di Jayapura. Sayangnya Twisties—makanan ringan rasa keju yang juga ga kalah populer—sudah habis. Padahal jajanan ini yang jadi pencarian utama karena wajib jadi oleh-oleh kala bertandang ke PNG. Jadi lah setelah membayar, kami langsung bertandang ke toko lainnya, yang untungnya punya banyak stok.

SAMSUNG CAMERA PICTURES

SAMSUNG CAMERA PICTURESSAM_2861Karena tidak lengkap rasanya kalau tidak main ke pantai, saya pun meminta Bang Nugi untuk mengunjungi beberapa pantai yang searah dengan jalur menuju perbatasan. Ya, walaupun hanya untuk foto-foto semata, setidaknya sudah pernah menginjakkan kaki di lembutnya pasir PNG. Mobil yang melaju kencang meninggalkan Vanimo seketika berbelok memasuki kawasan penginapan dengan pantai pribadi. Bang Nugi menyapa pemiliknya yang ternyata adalah orang Biak yang sudah lama tinggal di negara ini. Mereka pun bercakap-cakap penuh keakraban, meninggalkan saya dan Mba Filipin yang kegirangan menatap indahnya laut tenang berselimut kilauan cahaya matahari. Kombinasi pasir abu-abu yang membentang luas serta  langit biru cerah membuat mata sulit sekali untuk dibuka lebar. Dari sini tampak sisi bukit dimana kami sambangi tadi. Gedung-gedung pun terlihat kecil di kejauhan.

SAMSUNG CAMERA PICTURES???????????????????????SAMSUNG CAMERA PICTURESPantai selanjutnya yang kami sambangi tidak seluas yang tadi, walaupun berpasir putih dan jauh dari kota. Vanimo pun sudah tak tampak dari sini karena tertutupi rimbunan pepohonan. Sebenarnya asyik juga kalau berenang di sini, secara tidak bakalan ada orang yang mengganggu. Hanya saja waktu tidak memungkinan. Jadinya saya cuma cari kerang yang terdampar di pesisir untuk ditaruh dalam akuarium di rumah nanti.

SAMSUNG CAMERA PICTURESSAMSUNG CAMERA PICTURESCukup lama waktu berjalanan hingga akhirnya kami berhenti di pantai berikutnya. Saat melewati daerah ini kemarin, saya hanya melihat aliran besar kali yang mengarah ke laut, dengan luas pasir yang tak seberapa. Tapi, saat berjalan lebih jauh ke bibir pantai, ternyata bagian kanan yang tertutup rimbunan pohon di samping jalan menyembunyikan sisi lain pantai. Pasirnya yang putih kecokelatan terasa empuk saat dijejaki. Belum lagi warna airnya yang WOW. Namun ombaknya, beuh, mengingatkan saya pada pengalaman menarik saat ke pantai Talassa minggu lalu. Ada perasaan lega berada di sini, entah karena pantainya yang luas, atau karena laut yang membentang. Tapi juga muncul kesan misterius, yang membuatku berpikir, kalaupun ada waktu dua jam untuk berenang, sudah pasti tidak akan saya gunakan. Cukup menikmatinya dari pesisir saja 😀

???????????????????????

SAMSUNG CAMERA PICTURES???????????????????????Mobil kembali menyusuri jalan menuju Wutung di perbatasan. Desa-desa yang kemarin tidak begitu saya perhatikan ternyata tampak lebih hidup hari ini. Terlihat lebih banyak orang. Dan ternyata kampung mereka rapi sekali. Sisi jalan di sepanjang desa ditanami tanaman pagar berwarna kuning-merah. Pun saya tidak lihat sampah di tengah maupun sisi jalan. Rumahnya semua masih tradisional, berbentuk panggung dengan material yang sangat alami. Berbeda dengan adat orang Jayapura, dimana rumah panggung hanya terdapat di pesisir pantai. Rumah  adat di Vanimo semua pukul rata berbentuk panggung, mau di pesisir maupun jauh di daratan. Entah mungkin ada hewan liar jenis baru yang suka keliaran di bawah rumah saat tengah malam.

???????????????????????Teringat saat kemarin diajak keliling kota. Di beberapa kampung saya lihat masyarakatnya berkumpul di tengah-tengah deretan rumah, duduk membentuk lingkaran sambil menjajahkan dagangan sayuran dan lainnya. Mereka tampak bercengkerama, tertawa, seakan-akan tidak ada beban hidup sama sekali. Rumah reyot sederhana itu pun seperti tidak menjadi masalah besar. Semua tampak baik-baik saja. Yang penting bahagia dan penuh kisah hari ini.  Tinggal tunggu matahari menyapa lagi esok hari. Tiba-tiba saya jadi menyangsikan berita tindakan-tindakan penuh kejahatan yang saya dengar selama ini di PNG. Kalau memang rawan kriminalitas, apa lah arti senyuman dan tawa yang saya lihat kemarin, serta lambaian tangan penuh keramahan pada orang-orang yang melintas memakai mobil. Apakah itu ukiran getir di wajah untuk menerima kenyataan hidup yang penuh apa adanya, atau hanya senyuman sesaat untuk menikmati hangatnya matahari, sebelum akhirnya kembali bersembunyi di balik tembok dari para manusia biadab saat malam tiba?

Saya yakin, sebuah kehidupan yang baik adalah saat kita bisa menerimanya. Entah itu pahit, manis, apapun isitilahnya. Semuanya sebisa mungkin dijalani seindah mungkin, walau kita tahu saat-saat tidak mengenakkan pasti akan datang suatu waktu. Seperti guguran dedauanan yang sering kulihat di balik jendela bertahun-tahun yang lalu—hijau dan merekah dengan indahnya, walau suatu saat pasti menguning dan jatuh ke bumi. Seperti matahari yang bersinar terang sepanjang hari, walau tahu kegelapan akan melahapnya kala malam tiba. Seperti kehidupan mereka yang sedang saya saksikan sekarang.

Kenyataan ini benar-benar menyadarkanku betapa beruntungnya menjadi seorang manusia Indonesia. Betapa selama ini saya belum begitu bersyukur tinggal di negara dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Keluhan-keluhan itu tampak bukan apa-apa dibanding garis kehidupan yang dijalani orang-orang di negara ini. Mereka hidup di lingkungan yang keras, berkekurangan, tapi bahagia untuk tetap berada di sana dan menjalaninya. Sungguh, sepertinya saya tidak punya alasan lagi untuk tidak bersyukur atas apa yang dimiliki di negara sendiri.

SAMSUNG CAMERA PICTURESTak terasa kami sudah memasuki kawasan perbatasan. Bang Nugi kembali memarkir mobilnya di tempat yang sama seperti kemarin, lalu bersama kami menuju kantor imigrasi. “So, what do you think about PNG?” tanya sang petugas seraya mengembalikan pasporku. Saya berpikir sejenak sambil melihat visa yang telah dicap, “I love it“, jawabku singkat. Sebuah pujian. Bukan untuk keindahan pantainya, bukan juga karena merdunya kicauan burung pagi tadi, tapi untuk semua pelajaran hidup yang kudapat dalam perjalanan ini.SAMSUNG CAMERA PICTURES

Terima kasih banyak untuk Bang Nugi dan Bang Yadi.

78 responses to “Main ke Tetangga Sebelah: PNG (Bagian 2)

    • Makasih.
      Itu lah mba, rasanya beruntung sekali bisa ke sana. Kalau kata teman, semua orang bisa pergi ke Seoul, tapi tidak semua bisa/mau ke PNG 😀

  1. It feels like you returned to Indonesia like a brand new person, more appreciative to what your home offers you all this time. Aleee beli Twisties sampai satu kardus…mau dagang di Jayapura kah? Hehehe….. Salam!

  2. aku juga suka tipe rumah seperti itu. Dan anyway, entah kenapa tulisan kali ini menimbulkan kesan yang berbeda dari biasanya. Sangat berkesan ya selama di PNG? 🙂 Dan anyway twistiesnya banyak amat bang! haha

  3. Salam Fier… kebanyakan orang suka melancung ke tempat yang sudah gah dan terkenal di mata dunia, tetapi jarang menyusuri pengalaman di negara yang dianggap kurang memberi kesan tarikan wisata. Melalui foto-foto Fier dan Mbak Filipin, ternyata sangat meriah sekali keindahan pantai di PNG. Apa tidak menjelajah kotanya ? Salam dari Sarikei, Sarawak. 🙂

    • Itu lah yang membuat saya merasa beruntung bisa mengunjungi PNG—negara yang tidak begitu menarik perhatian para pelancong.
      Vanimo adalah kota kecil. Kami hanya butuh 20 menit untuk menjelajahi seluruh wilayah 😀

  4. Speechless reading this 😀
    Kehidupan memang terasa indah banget ketika kita bisa bersyukur. Dan membaca ini membuat saya jadi lebih bersyukur dengan kondisi saya sekarang. Thanks for being so inspiring. Traveling isn’t always about famous places, but places where we can learn to be a better person 😀

    • Hei brow, gimana kabar? Maaf banget nih baru balas komentarmu. masih ingat lah kawanku nih. Sip, nanti saya singgah. Tunggu akuuuuuuuuuu

  5. Lihat gambar dos Twisties-nya langsung kepingin rebut itu hahaha…
    Twisties salah satu snack favorit pas di Jayapura, gegara dibawain teman yang tinggal di daerah perbatasan 😀

  6. Pingback: Pesisir Paling Timur Indonesia: Pantai Koya | Eat, Pray, Travel!

Leave a reply to Gocioo Cancel reply