Di saat sebagian besar masyarakat Jayapura masih terbuai dalam mimpi yang indah, saya malah berdiri sendirian di samping jalan raya, jam 5 pagi buta! Tindakan penuh tanya, bukan? Beberapa kendaraan berlewatan, meninggalkan aroma polusi sebagai ucapan selamat pagi (-_-“). Begini lah kalau berurusan dengan orang Filipin; saya sebagai orang Indonesia sejati masih ga habis pikir, mau ke pantai saja harus start sepagi ini. Demi tuhan, yang benar saja!
Tak lama mobil yang melaju dari kejauhan menglakson, tanda penjemputan tiba. Saya segera memasukkan ransel serta sepanci besar mie goreng yang saya masak dengan penuh cinta sejam yang lalu ke dalam bagasi belakang, kemudian duduk di bagian tengah. Yap, kami berlima, di pagi yang sejuk ini, sedang dalam perjalanan menuju sepotong surga yang jatuh ke bumi Papua: kampung Bukisi yang pantainya seindah foto-foto pesisir kepulauan Karibia. Faktanya, ini kali ke dua bagi saya, mba Filipin dan Mas AG (suaminya). Sedangkan bagi Bon-bon dan Nyonya K, baru akan menjadi pengalaman pertama.
Mas AG sendiri sudah terkenal seantero kantor kami sebagai pembalap. Perjalanan Jayapura-Depapre yang normalnya berjarak 2 jam dapat disingkat menjadi 1 jam lewat dikit. Menyusuri jalan dari kota ke kabupaten masih asik-asik saja karena beraspal mulus, tapi saat memasuki perkampungan transmigan lah mode goyang kiri-kanan teraktivasi dengan sendirinya. Jalan penuh lubang digilas saja. Toh bukan mobil pribadi. Apalagi sepagi ini, di saat seluruh permukaan alam diselimuti basahnya air hujan semalaman, kendaraan belum terlalu banyak. Jadi lah kami raja jalanan!
Baru saja saya masuk ke fase tidur ayam, tau-tau mobil sudah mencapai distrik Depapre. Beuh! Rasanya pengen menjambak-jambak rambut karena kepala pusing bin berat akibat kualitas tidur 1 jam yang buruk—semalam setelah balik fitnes, konyolnya saya malah asik Internetan sampai jam 3. Mas AG menurunkan kami serta barang bawaan di dermaga, kemudian menuju polsek setempat buat titip mobil untuk semalam. Mba Filipin berbaik hati membagi tabir surya karena kami akan panas-panasan di atas perahu. Teringat peristiwa terakhir kali ke Bukisi, kulit saya bahkan sudah perih duluan bahkan sebelum berenang di pantai akibat terpapar sinar matahari saat berlayar.
Walaupun banyak perahu berjejer di sisi dermaga, kami tidak bisa langsung main sewa untuk mencapai lokasi layaknya ke pantai Harlem. Melainkan harus menumpang perahu yang berasal dari Bukisi itu sendiri, karena untuk memasuki kampung tersebut hanya bisa dengan perahu masyarakat setempat. Itupun kami harus buat janji dulu karena tidak setiap hari mereka menepi di dermaga ini. Yang atur janji adalah mba Filipin, dengan bahasa Indonesianya yang formal ala pidato kenegaraan, bahkan saat berbicara dengan penjaga warung sekalipun. Kami janjian bertemu jam 7. Dan semoga saja Karel, sang pengendara perahu, masih mengingat penampakan kami karena terakhir kali kami menggunakan jasanya tepat setahun yang lalu.
Cukup lama kami mejeng di dermaga hingga akhirnya yang ditunggu mulai mendekat dari kejauhan. Wajah familiar itu menyambut kami dengan senyuman. Tak ada yang berubah darinya: Karel yang ramah. Hanya ada tambahan asisten yang membantunya menavigasi arah bila ada karang yang menghadang, serta kinclongnya badan perahu yang sepertinya baru dicat. Setelah seluruh penumpang turun, gantian kami yang mengisi perahu. Barang-barang dinaikan duluan oleh Bon-bon yang dengan gesitnya bergerak di atas perahu yang bergoyang. Sedangkan Nyonya K yang berbaju pelampung tampak kesulitan menaiki perahu karena takut kecebur. Maklum, beliau tidak tau berenang. Setelah semua duduk rapi, serta disempatkan dengan foto-foto sejenak, kami pun bertolak meninggalkan dermaga yang mulai ramai dengan pedagang pinang dan ikan segar.
Air yang mulanya cokelat bercampur lumpur mulai berganti biru jernih. Makin ke tengah laut, makin tinggi pula ombak mengangkat kami. Selain kondisi alam, laut yang bagiku tak pernah bisa ditebak selalu saja memberikan kejutan. Gelombang datang silih berganti, sering pula menggoda kami dengan cipratan air asin ke wajah, tetapi semilir angin serta panasnya mentari cukup untuk memberikan ketenangan. Setidaknya tidak semengerikan perjalanan ke Harlem tempo hari. Apalagi saat lumba-lumba mulai berlompatan dari dalam birunya laut, bergantian menampakkan kulit abu-abunya yang mengkilat sambil mengiringi kapal, bagiku inilah ucapan selamat pagi yang sesungguhnya.
Perahu berlayar kencang menuju Barat, meninggalkan ingar-bingar Jayapura nun jauh di belakang. Perjalanan ini memakan waktu 45 menit hingga 1 jam. Tergantung cuaca dan lautnya. Kami pun melewati beberapa kampung, mulai dari Tablanusu, hingga yang namanya sulit dihafal. Sebagian besar kegiatan perekonomian kampung-kampung tersebut berpusat di Depapre, begitu pun untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Karena itu lah perahu adalah elemen terpenting bagi mereka. Saya sendiri sedikit heran dengan pilihan masyarakat setempat untuk hidup di antara dinding karang di kaki bukit, dimana jalur darat rasanya hampir mustahil. Tapi, begitu lah adatnya. Laut adalah sumber kehidupan. Maka berdampingan lah dengannya.
Semakin jauh berlayar, semakin giat pula laut bermain bersama kami. Terkadang permukaan air tenang bak permadani biru, terkadang ditambah rintik air hujan, terkadang pula muncul gelombang yang cocok untuk berselancar. Karel, sang pengembara lautan, paham betul kondisi lautan beserta rute yang hampir tiap minggu dia lewati. Tak tampak sedikit pun rasa khawatir ditunjukkan, bahkan saat menghadapi arus laut yang kencang. Ekspresi yang memberikan rasa aman bagi penumpangnya. Kami sendiri tenggelam dalam diam, hanya saling melempar senyum saat bertemu pandang. Bicara pun percuma karena suara kami tenggelam oleh bunyi deru mesin serta pecahnya ombak di haluan. Lagipula, jejeran dinding karang yang menjulang di sisi kiri merupakan tontonan yang menarik.
Setelah melewati jorokan formasi karang terakhir, masuk lah kami ke kawasan kampung Bukisi. Lengkungan garis pantai abu-abu bagaikan senyuman selamat datang. Warna airnya yang biru muda jernih menampakkan lantai berpasir bersih tanpa karang. Jejeran rumah sederhana serta pohon kelapa melambai di kejauhan. Sungguh! Pesona kampung ini tak hilang sedikit pun.
Tak seperti kunjungan sebelumnya, kami tidak diturunkan langsung di depan penginapan, melainkan berbelok memasuki laguna luas di sisi belakang kampung yang warna airnya bikin mata langsung segar-melegar dan pengen langsung nyemplung. Setelah perahu sandar di dermaga, kami langsung disambut oleh salah satu tetua adat setempat. Serasa pejabat negara nih jadinya. Beberapa pria segera membantu kami membawa barang-barang ke penginapan. Perlakuan khas orang pedesaan yang sudah jarang ditemukan di komunitas manusia perkotaan.
Penginapan yang saya maksud jangan dikira resor mewah ala pulau Sentosa maupun hotel bintang 100. hanyalah rumah kayu panggung sederhana berkamar 3 dengan 6 kasur, lemari, pelita, kompor minyak, serta kamar mandi bersama di bawah. Yang membuatnya istimewa adalah posisinya yang menghadap langsung ke pantai dan samudera Pasifik. Jadi sambil duduk-duduk ngemil di balkoni, bisa langsung menikmati pemandangan yang fantastis.
Nahan napas baca postingan ini. Surga banget beneran. Tidur sejam pun cukuplah rasanya.
iya nih bro, tunggu pos saya yang bagian 2, foto-fotonya lebih keren lagi 😀
Indah …
kamera juga mendukung sih 😛
hahahahahaha…betul sekali 🙂
Gilaaa cantik benar. Kapan ya aku bisa mendarat di Papua..
Hehehehehehehe…tunggu artikel bagian ke 2, masih banyak pemandangan keren yang akan saya tunjukkan 🙂
Aku menunggu …
okesip 😀
Mau juga doong ke Irian Jaya… *ngelamun*
Ayo teh ke sini. Entar diajak keliling2 🙂
Iya pengen bangeuut.. Inshaa- Allah, semoga kesampaian.
Mari kita aminkan berrrrrrrsama-sama
Amiin 🙂
Hatur nuhuuuun….. 🙂
Sami-sami 🙂
gambar gambarnya bikin kangen tanah air 😛
Hahahahahhaa….tanah air memang indah 🙂
waaah bagus banget! pengen ke sana…
Yuk main ke Jayapura 😀
Mine,
Keren banget pantai… Jadi teringat sesuatu. Bagian kedua ditunggu lho.Ajak aku kah? I miss you much! Be safe on your travels.
Hahahahhaa…ajak ga ya. Sepertinya perahu sudah tidak muat :p
Beneran kayak pantai di seputaran Laut Karibia..👍 Ditunggu ya post selanjutnya..😃
Sip. Nih lagi nyusun artikelnya ;D
Cepat sedikit…. Pembaca sudah tidak sabar menanti…;-)
omg.. BIKIN ENvyyyyy.. oneday i hope i could go there
hehehehehe..nih sudah mau rilis artikel yang ke dua. Jangan sampai dilewatkan 😀
papua impian wisata ku hikss
Setuju deh 🙂
duh mahalnya hahaha
Hahahhahhha…iya nih, di ujung Timur soalnua 😀
Sungguh beruntung menjadi bagian dari perjalanan ini.
Yap. pengalaman tak terlupakan 🙂
Pingback: Ber-5 ke Pantai Pasir 6 | Eat, Pray, Travel!
tetap gaya modelnya selalu. wkwkwkwk
Hahahahhaa…harus lah bro 😀