Jurnal 2: Tak Semudah Membalik Telapak Tangan?

Dua jam akhirnya berlalu saat pesawat mendarat di landasan bandara LCCT. Penerbangan berjalan mulus, nyaris nihil turbulensi, dan ada sedikit “hiburan” dari nikmatnya Nasi Lemak Pak Nasser—disajikan panas sampai rasanya lidah hendak melepuh.

Setelah pesawat parkir, penumpang mulai turun satu-persatu, kemudian melewati koridor khusus yang langsung mengarah pada konter imigrasi. Saya melangkah perlahan, memandang jejeran pesawat Air Asia sembari membayangkan pengalaman dua tahun lalu (nyaris di waktu yang sama) saat saya berjalan menuju pesawat untuk terbang kembali ke Jakarta. Tak ada yang berubah. Semua tampak sama. Suasana hati lah yang berbeda.

Antrian menuju petugas imigrasi bergerak perlahan karena yang berjaga tidak terlalu banyak. Saat pasporku dicap, tak ada sensasi semenggembirakan layaknya yang kurasakan kala memandang cap imigrasi Malaysia pertamaku di Johor Bahru. Saat itu, rasanya seperti memandang harta karun yang berkilau dalam genggaman. Saat ini? Jangankan melirik, paspor langsung kumasukkan dalam tas pinggang, lalu melangkah cepat menuju toilet.

Suasana bandara terasa sangat sepi saat kuberjalan menuju gerbang keluar; entah memang keadaannya seperti ini, atau karena suasana hatiku yang sedang buruk. Saya sedang dan terus mencoba untuk ikhlas—merelakan tiket Vietnamku yang hangus begitu saja. Namun, tetap saja, ini bukan sinetron yang saat skrip mengharuskanmu untuk melakukan sebuah adegan, itu lah yang akan kaulakukan. Ini bukan omongan klise “anggap saja audiensnya telanjang”, yang mana kauberharap, dan saat membuka mata, semua yang di hadapanmu benar-benar telanjang. Wow! Betapa menyenangkan mendapati semua dapat terjadi seperti yang kita inginkan; semudah membalik telapak tangan. TAPI, INI DUNIA NYATA. Mau buka-tutup mata jutaan kali juga penonton masih berpakaian lengkap dengan tuxedo dan dasi kupu-kupu—setinggi apapun imajinasimu. Malah keseringan diri sendiri yang terasa berkali lipat lebih telanjang daripada model majalah playboy. Huff…

“One ticket, please, to KL Sentral” kataku pada seorang petugas perempuan yang berdiri dibalik konter penjualan tiket bus. Setelah memberikan tiket dan kembalian, dia menjelaskan arah menuju tempat mangkal bus. Dari arah gerbang ketibaan, tampak jelas di kejauhan beberapa bus parkir di tempat penjemputan, menunggu penumpang. Saya melangkah santai, cenderung malas, lalu menghampiri pria berbadan tambun yang berdiri di samping bus. “Only that chair left” katanya, jarinya menunjuk ke arah kursi tingkap, tepat di samping pintu masuk paling depan. “Tak apa?” tanyanya dalam logat Melayu, yang seketika membuatku sadar tidak sedang naik bus di terminal Baranangsiang. Saya mengangguk sambil tersenyum simpul, memberinya tiket, lalu naik ke bus.

Supir segera tancap gas membelah udara malam yang kering—”tancap gas” yang berarti harfiah karena bus memang melaju kencang menelusuri jalan tol yang sepi. Sesekali beberapa moge beradu kecepatan, saling menantang. Bunyi knalpotnya teredam, seperti dengungan serangga malam yang keliaran mencari cahaya. Celoteh penyiar radio yang mengudara pun sama sekali tak membangkitkan hasrat, as lame as the songs being played. Rasanya cukup tersiksa duduk di depan sini; kantuk menyerang, tapi tak bisa tidur karena supir sering kali berbelok tajam tanpa menurunkan kecepatan, membuatku harus siap siaga agar tidak terjungkal.

Hampir satu jam lamanya kami berkutat dengan lampu jalan dan kegelapan. Tebaran titik cahaya warna-warni mulai menghiasi pandangan saat bus memasuki wilayah pusat kota. Dari jauh, tampak jelas si kembar berdiri gagah, memancarkan sinar uniknya sampai-sampai awan di atasnya terang-benderang layaknya siang hari. Bus terus bergerak hingga akhirnya berhenti tepat di samping gedung terminal super megah KL Sentral. Saya melompat turun, lalu berjalan santai memasuki bangunan. Semua masih teringat jelas: stasiun LRT dan KTM, KFC, toko buku, jejeran loker, toilet, hingga mesin penjual otomatis yang ada dalam gedung ini. Saya memiliki (sesuatu yang kuanggap sebagai sebuah) kelebihan dimana sebagian besar jalur, jalan, tempat yang telah kulalui dapat terpatri dengan jelas di otakku. Sehingga saat kembali ke tempat tersebut, saya sudah tahu harus melangkah ke mana.

Setelah membeli tiket (yang berupa token) di mesin khusus, saya langsung menuju peron. Tak banyak penumpang yang menunggu. Hanya segelintir pria bermata sipit serta dua perempuan yang sepertinya menumpangi bus yang sama dari bandara. Tak lama berselang, bunyi desingan rel yang tergesek memekik dari kejauhan, diikuti oleh badan kereta yang bergerak kian melambat seiring mendekati peron. Gerbong kereta yang kosong melompong memberikan ruang ekstra luas bagiku untuk tidur-tiduran di bangku, tapi sayangnya stasiun yang kutuju hanya berjarak satu stasiun—Pasar Seni. Jadinya duduk pun bahkan terasa tidak perlu.

Sesampainya di Stasiun Pasar Seni, saya berjalan cepat menuruni bangunan, lalu menyeberangi jalan sunyi menuju pintu masuk penginapan Fern Loft yang nyempil di jejeran ruko. Saya harus memencet bel berkali-kali sebelum akhirnya petugas penginapan menuruni tangga dan membukakan pintu yang terkunci otomatis. “What rooms you got?” tanyaku dalam bahasa Inggris asal-asalan sesampainya di resepsionis, sudah terlalu lelah untuk sekedar ber-well-grammar ria. “There are some beds in dormitory” tawarnya.  Saya langsung teringat sebuah kamar luas dengan beberapa jejeran tempat tidur, serta para pelancong dari seluruh dunia lomba ngorok di sana. “I’ll take twin room”, sahutku. Persetan dengan harga sewanya yang lumayan. Persetan dengan siapa teman sekamar nanti. Persetan juga dengan ekspresi kaget petugas saat saya bilang ingin menyewa kamar tersebut. Saya sedang sangat butuh privasi, ketenangan. Walaupun harus dibagi berdua, setidaknya tidak terlalu bising. “Okay” kata pria tersebut, lalu meminjam pasporku untuk menyalin data, memberikan kunci serta kantong seprai, lalu menjelaskan fasilitas penginapan.

Saya perlahan menaiki tangga, menuju lantai tiga di mana kamarku berada. Saat memasuki ruangan yang tak terlalu luas tersebut, seorang pelancong lainnya sedang duduk santai sambil memainkan laptopnya. Kami saling menyapa, ngobrol, tanpa terlalu peduli menanyakan nama masing-masing. Saya kemudian mengambil sabun pencuci muka dan menuju toilet, membasuh wajah sampai kepala terasa lebih ringan dan segar.

Sambil memandang bayangan di cermin, saya terus bertanya dalam hati “lu ngapain di KL?”—pertanyaan yang bahkan sudah muncul saat petugas wanita di bandara Soetta menyerahkan tiket pesawat kepadaku. Kuhela napas panjang, lalu memandang telapak tangan kananku yang basah, tampak sedikit pucat. Mungkin memang semua semudah membalik telapak tangan, pikirku sambil membayang pertanyaan yang menghantui tersebut sedang tertidur pulas di antara garis-garis tanganku. Jari-jari kurapatkan, menggenggam tanya, lalu kubalikkan telapak, dan melihat kata “esok” muncul, melayang-layang di punggung tangan. Ya, jawabannya akan kudapat esok hari.

28 responses to “Jurnal 2: Tak Semudah Membalik Telapak Tangan?

  1. Alhamdulillah, bisa ke negri Jiran bukan sebagai TKI. Nikmati saja liburannya, dan lagi pula AA memang pintar memberikan harga khusus buat ke markas besarnya, serta mendongkrak pariwisata “Truly ASIA”. Selamat menikmati ya KL

  2. Assalaamu’alaikum wr.wb, Fir

    Hadir menyambung silaturahmi, untuk mengucapkan

    Esok adalah harapan, sekarang adalah pengalaman, kelmarin adalah kenangan yang tak luput dari ke khilafan dan kesalahan. Semoga RAMADHAN kali ini lebih baik dari RAMADHAN tahun lalu..amin.

    Tulisan berada di Kuala Lumpur ini, berlaku bila Fir ?

    Selamat menyambut Ramadhan yang mulia.
    Salam Ramadhan dari Sarikei, Sarawak. 😀

Leave a reply to Fier Cancel reply