You Don’t Speak Bahasa?

     Laju kereta yang kencang sedang membawa saya menuju stasiun Harbourfront. Hari ini saya hendak main ke Pulau Sentosa yang diklaim oleh Singapura sebagai pusat bermain favorit masyarakat Asia. Pundak kiri saya agak sedikit perih menahan tas pinggang yang lumayan berat ; isinya kamera SLR, botol minum, serta 12 gantungan kunci seharga $ 10 yang tadi saya beli di depan Mustafa Center. Walaupun begitu, senyum saya tak hentinya tersungging mengingat kejadian lucu semalam saat pulang dari Marina .
Ceritanya begini:
    
       Saat berjalanan menuju penginapan, ternyata dijalan dibelakang penginapan ada resto India halal, namanya Tiffin Bhavan. Tanpa pikir panjang, serta karena perut saya sudah dangdutan, saya langsung santronin aja . Didalam saya liat seseorang berdiri dibalik rak makanan serta seorang pria berkumis yang keliatannya sedang membeli lauk. “Excuse me, do you sell halal food here?” tanya saya pada si penjual. “Yes, halal, halal” si penjual menyebutkan dua kali kata ‘halal’ untuk meyakinkan saya, “makan?” tanyanya kembali dalam bahasa Melayu. “Iya” jawab saya sekenanya. “Daging mana?” tangannya menunjuk wadah-wadah berisi daging berbumbu yang menggiurkan. “What meat is that?” tanya saya, bingung mana yang ayam, sapi, maupun kambing . Dia pun menjawab, namun karena suaranya terkesan kumur, saya jadi susah menangkap maksudnya. Si Pak Kumis pun hendak membantu dengan menyebut-nyebut sesuatu yang ditelinga saya terdengar seperti “macan, macan”. Hah!  Ah gila lo! Masa saya disuruh makan daging macan! “Macan?” tanya saya ga percaya pada Pak Kumis. “Goat, goat” sahutnya lagi. Oooo, kambing toh. Ya udah, selanjutnya saya ngangguk-nangguk saja si penjual mau bilang apa . Ternyata, saat membaca menu makanan yang ditempel di dinding, yang dibilang Pak Kumis tadi adalah “Mutton” yang diucap /maten/ (dengan aspirasi pada konsonan /t/), yang berarti kambing. Hahaha. Ini telinga saya yang ga beres atau lidahnya Pak Kumis aja yang keinggrisan?
(Kembali ke MRT…)
     Setelah MRT tiba di stasiun Harbourfront yang letaknya di bawah mal Vivo City, saya sempetin liat-liat aja didalam, mumpung masih ada waktu sebelum shalat jumat . Dalam buku panduan yang saya beli sih seharusnya ada masjid disekitar mal ini, tapi kok saya ga liat ya. Mana saya pakai kemeja dan celana panjang lagi, ditambah sengatan matahari yang amboy panasnya, saya jadi malas kelalang-keliling nyari masjid . Akhirnya, jam 12 teng saya balik lagi ke stasiun Farrer Park, dimana ada masjid Anguilia.
     Pas saya masuk masjid, rupanya belum terlalu ramai. Ada seseorang yang bicara di depan mik, keliatannya sih sedang memberikan pendahuluan sebelum ceramah, dan dalam bahasa Tamil. Setiap kata yang mengalir keluar melewati kumisnya tidak saya mengerti, paling hanya salam, Allah SWT, dan Muhammad SAW yang bisa saya tangkap . Saya benar-benar dikelilingi oleh orang Tamil. Duh, jadi kangen sama orang Melayu. Dan, eng ing eng, doa saya terkabul; dua orang bapak-bapak Melayu muncul dan duduk disamping saya. Tak apalah walau cuma dua orang, setidaknya saya tidak merasa orang Melayu sendiri disini.
     Selesai shalat jumat yang penuh dengan bahasa Tamil yang keriting, saya kembali naik MRT ke stasiun Harbourfront. Di dalam kereta, seorang Ibu berjilbab menegur saya dalam bahasa Melayu. Karena ga mengerti, saya balas aja pake bahasa Inggris. “You don’t speak bahasa?” tanya si Ibu heran . Yaealah  bu saya ngomong pake BAHASA, masa pake ISYARAT. Tapi saya ngerti kok maksudnya, “I speak Bahasa Indonesia, but I find it hard to understand Malay” jelas saya .  “Do you know when the train gets to Harbourfront Station?”  tanya si Ibu, Mmmm, ternyata si Ibu lagi ngeboyong keluarganya dari Malaysia untuk liburan, eh, melancong ke USS. “It’s the last station. I’m going there too” balas saya, kemudian dilanjutkan oleh obrolan dua orang Melayu yang berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Huh, betapa menyedihkan.(Bersambung…)

5 responses to “You Don’t Speak Bahasa?

Leave a reply to pelancongnekad Cancel reply